Laporan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analis pasar modal Hans Kwee mengungkapkan, Indonesia terakhir mengalami siklus super komoditas pada tahun 2010 hingga 2013 dan mengalami pertumbuhan ekonomi yang kuat.
Sementara, banyak harga komoditas andalan Indonesia saat ini telah melampaui level di periode tersebut, sehingga kemungkinan fenomena itu terulang mulai tahun ini.
"Dibandingkan beberapa tahun lalu, saat ini Indonesia sudah mulai memiliki rantai pasok terintegrasi yang meningkatkan kualitas ekspornya," ujar dia melalui risetnya, Senin (14/3/2022).
Hans menjelaskan, pasar ekuitas Indonesia juga mampu memberikan return lebih dari 20 persen pada tahun kenaikan harga komoditas.
Baca juga: Pemerintah Minta Produsen Minyak Goreng Prioritaskan Kebutuhan Dalam Negeri
"Kendati inflasi memang lebih tinggi, tapi fluktuasi mata uang rendah membuat imbal hasil yang disesuaikan tetap menarik dari sudut pandang investor asing," katanya.
Dalam jangka panjang, kondisi saat ini akan mengarah pada kondisi ekonomi makro tidak baik bagi negara maju dibandingkan dengan ekonomi negara berkembang.
Baca juga: Gara-gara Kebijakan Embargo Biden, Harga Bensin di AS Melonjak 22 Pesen
"Krisis energi yang mendorong banyak negara untuk melakukan diversifikasi dari inisiatif energi hijau," tutur Hans.
Selain itu, perang Rusia-Ukraina memperburuk kondisi dan mendorong harga energi lebih tinggi, terutama minyak dan gas.
Baca juga: Harga Bahan Pokok Tak Kunjung Turun, Pedagang: Jelang Puasa Bisa Naik Lagi
Hal ini dinilai Hans, menyebakan potensi inflasi yang tinggi dan peningkatan risiko defisit perdagangan negara maju karena importir energi.
"Akhirnya, menyebabkan kenaikan suku bunga acuan lebih cepat dan menimbulkan risiko stagflasi. Ada harapan bagi negara-negara berkembang, yang sumber energinya lebih mandiri dan relatif ekonominya didorong oleh ekspor komoditas," pungkasnya.