TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW - Perang di Ukraina secara perlahan juga menyebabkan kerugian besar bagi Rusia. Biaya hidup masyarakat Rusia melonjak hingga 14% dalam seminggu terakhir akibat kenaikan harga bahan pokok rumah tangga.
Di saat yang sama, inflasi juga diprediksi akan terus meningkat. Hal ini ditandai dengan nilai rubel yang turun tajam sejak perang Ukraina dimulai. Nilainya turun sekitar 22% tahun ini dan mendorong naiknya biaya impor barang.
Pada hari Rabu (23/3), Kementerian Ekonomi Rusia mengatakan inflasi tahunan telah melonjak 14,5% dalam pekan yang berakhir 18 Maret, tertinggi sejak akhir 2015.
Baca juga: Sosok Ramzan Kadyrov dari Chechnya yang Pernah Berkhianat, Ini Perannya dalam Perang Rusia-Ukraina
Dilansir dari BBC, Layanan Statistik Negara Federal mengatakan biaya gula naik sebanyak 37,1% di wilayah tertentu di Rusia, rata-rata naik 14%.
Sementara itu, harga bawang mengalami kenaikan terbesar kedua selama seminggu, naik 13,7% secara nasional dan 40,4% di beberapa daerah. Harga barang pokok lain seperti popok naik 4,4%, tisu toilet naik 3,%, dan teh hitam naik 4%.
Managing Partner di SPI Asset Management, Stephen Innes, mengatakan kenaikan harga ini pada umumnya disebabkan oleh nilai rubel yang sangat lemah.
"Penyebab terbesar adalah inflasi impor. Apa pun yang diimpor Rusia secara eksponensial akan lebih mahal karena rubel lebih lemah," kata Innes kepada BBC.
Baca juga: Bantu Perangi Rusia, Inggris Kirim 6.000 Rudal ke Ukraina
Melakukan serangan balasan
Dicoretnya bank-bank Rusia dari pasar keuangan Barat, seperti AS, Inggris, dan Jerman, tentu jadi faktor utama pelemahan nilai rubel. Mereka juga melarang transaksi dengan bank sentral Rusia, dana investasi milik negara dan kementerian keuangan.
Dalam upaya untuk menghentikan merosotnya nilai mata uang lebih jauh, Bank Rusia telah meningkatkan lebih dari dua kali lipat suku bunganya menjadi 20% di bulan Maret.
Sebagai respons atas beragam sanksi yang diterima, Rusia mengancam akan menyita aset bisnis yang telah berhenti beroperasi di negara itu. Salah satu yang telah terlaksana adalah memberi sanksi kepada Presiden AS Joe Biden dan 12 pejabat AS lainnya pekan lalu.
Hari Rabu lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan bahwa negara itu akan menjual gas alam ke negara-negara yang dianggap tidak bersahabat dalam rubel. Langkah itu bertujuan untuk menguatkan kembali mata uang.
Uni Eropa telah bergantung pada Rusia untuk 40% cadangan gasnya. Banyak kontrak dilakukan dalam Euro dan belum jelas apakah Rusia bisa mengubahnya menjadi Rubel.
Pengumuman Putin tentang penjualan gas dalam rubel tersebut setidaknya berhasil mendorong mata uang itu ke level tertinggi dalam tiga minggu terakhir dan ditutup pada 97,7 terhadap dolar AS.
artikel ini sudah tayang di KONTAN dengan judul Rusia Diserang Inflasi dan Penurunan Nilai Mata Uang Selama Perang