Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lonjakan harga minyak dunia berdampak signifikan bagi kondisi perekonomian nasional, termasuk naiknya harga BBM nonsubsidi seperti Pertamax.
Demikian disampaikan Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga Rahma Gafmi.
Ia menjabarkan, Pemerintah menetapkan harga minyak dalam asumsi makro APBN 2022 sebesar 63 dolar AS per barel dalam APBN.
Baca juga: Resmi Naik, Harga Pertamax di Maluku-Papua Jadi Rp 12.750 Per Liter
"Tentu ini harus ada revisi mengenai Anggaran Belanja Negara supaya bisa mengkalkulasi kecukupan APBN dengan kondisi yang semakin tidak ada kepastian, kapan berakhir perang Rusia dengan Ukraina," ujar Rahma saat dihubungi, Kamis (31/3/2022).
Diketahui Pemerintah menetapkan bahan bakar oktan 90 atau BBM Pertalite sebagai jenis BBM khusus penugasan (JBKP) menggantikan BBM Premium. Pemerintah juga memutuskan untuk menaikkan harga BBM Pertamax.
"Isu kenaikan harga Pertamax dan tetap disubsidinya harga Pertalite akan menyebabkan peralihan penggunaan BBM oleh masyarakat yang sebelumnya menggunakan Pertamax akan beralih ke Pertalite," tutur Rahma.
Baca juga: Harga Pertamax Bakal Naik Malam Ini, Pemerintah Diminta Antisipasi soal Migrasi ke Pertalite
Hal ini, lanjut dia, dikarenakan BBM merupakan kebutuhan yang vital bagi masyarakat berkaitan dengan mobilitas mereka untuk bekerja dan bepergian.
"Jika kenaikan harga Pertamax menjadi sekitar Rp 16.000 per liter tentunya akan memicu penurunan demand Pertamax dan peningkatan demand Pertalite sebagai substitusi," kata Rahma.
Baca juga: Harap-harap Cemas, Besok Harga Pertamax Naik?
Rahma berpandangan, masyarakat yang mampu tidak seharusnya mendapatkan subsidi Pertalite. Pada akhirnya kebijakan kenaikan harga Pertamax malah justru merugikan negara karena penyuntikan subsidi ke Pertalite sangat membebani APBN.
"Melihat kondisi masyarakat kita yang kebanyakan adalah statusnya menengah, dapat dipastikan hal tersebut di atas akan terjadi penurunan daya beli di masyarakat," tutur Rahma.
Ia mengkhawatirkan kasusnya akan seperti minyak goreng, di mana demand Pertalite yang meningkat, meningkatkan suntikan subsidi, dan berdampak pada kelangkaan.