Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia diminta tetap waspada dalam pengelolaan utang yang dimiliki, seiring kegagalan negara Sri Lanka dalam membayar utang luar negerinya.
Hingga Februari 2022, Indonesia memiliki utang mencapai Rp 7.014,58 triliun atau setara dengan 40,17 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad mengatakan, pemerintah Indonesia diharapkan mengelola utang secara hati-hati serta mengantisipasi berbagai kemungkinan.
Baca juga: Cegah Senasib dengan Sri Lanka, Komisi XI DPR Minta Pemerintah Kelola Utang Secara Baik
"Adapun langkah yang harusnya dilakukan Indonesia adalah tetap mengoptimalkan belanja negara sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia," kata Kamrussamad saat dihubungi, Sabtu (16/4/2022).
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan pendapatan negara yang diketahui kini telah mendapatkan harga komoditas internasional, dan kerja sama dengan Bank Indonesia.
Namun, Kamrussamad meyakini Indonesia tidak akan senasib dengan Sri Lanka karena utang Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan posisi utang negara ASEAN, G20 dan beberapa negara di dunia.
Baca juga: Fakta-fakta Sri Lanka Jadi Negara Bangkrut, Gagal Bayar Utang Luar Negeri, Rakyatnya Mulai Kelaparan
"Melihat hal tersebut kami yakin Indonesia masih dalam posisi aman dan tidak akan ikut jejak negara Sri Lanka," paparnya," ujar politikus Gerindra itu.
Terkait kegagalan Sri Lanka dalam membayar utang sebesar Rp 732 triliun , Kamrussamad menilai hal itu karena negara tersebut mengalami krisis ekonomi terburuk dalam kurung waktu 70 tahun terakhir.
Menurut pejabat Sri Langka, kata Kamrussamad, pandemi Covid-19 serta perang Rusia - Ukraina salah satu penyebab negara tersebut krisis ekonomi.
"Di ketahui Sri Lanka ini sejak merdeka di tahun 1948, negara tersebut tidak pernah sekalipun gagal membayar utang. Namun, krisis beberapa tahun terakhir membuat pemerintah Sri Lanka tidak sanggup lagi membayar utang negara mereka," paparnya.
Utang RI Tembus Rp 7.000 Triliun, Menkeu Sri Mulyani Soroti soal Gagal Bayar Sri Lanka
Utang pemerintah RI sudah tembus Rp 7.000 triliun di akhir Februari 2022. Dikutip dari APBN Kita, data per 28 Februari menyebut utang negara tercatat sebesar Rp 7.014,58 T.
Kendati begitu, pemerintah menyebut posisi utang ini masih terjaga dalam batas aman dan wajar, serta terkendali.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan menyebut, rasio utang terhadap PDB RI masih lebih kecil baik dibandingkan dengan negara ASEAN, G20, maupun negara di seluruh dunia.
"Untuk menjaga dari kesehatan APBN, rasio utang (Indonesia) termasuk relatif rendah diukur dari negara ASEAN, G20, dan seluruh dunia," ucap Sri Mulyani dalam tayangan Youtube Komite Stabilitas Sistem Keuangan dikutip Kompas.com, Jumat (15/4/2022).
Kasus gagal bayar Sri Lanka
Meski begitu, bendahara negara ini tetap mewaspadai lonjakan utang Indonesia. Gagal bayarnya Sri Lanka pun menjadi sorotan Sri Mulyani.
Asal tahu saja, Sri Lanka mengumumkan bakal gagal membayar utang luar negeri 51 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 732 triliun (kurs Rp 14.371).
Gagal bayar diumumkan sebagai langkah terakhir setelah Sri Lanka kehabisan devisa untuk mengimpor barang pokok yang dibutuhkan masyarakat.
"Ini tetap kita jaga secara sangat hati-hati dan secara prudent. Kami lihat tekanan seluruh dunia ke negara-negara akan meningkat, seperti saah satu negara yaitu Sri Lanka, kami akan liat sisi bagaimana menjaga (porsi utang)," beber Sri Mulyani.
Lantas, bagaimana siasat Sri Mulyani agar RI tak gagal bayar seperti Sri Lanka?
Siasat Sri Mulyani
Wanita yang karib disapa Ani ini mengaku akan terus mengelola utang secara prudent.
Dia akan menghitung/mengkalkulasi jumlah, tenor, dan komposisi mata uang dari penarikan utang lewat penerbitan obligasi pemerintah.
Beberapa langkah pengelolaan utang secara prudent pun sudah disiapkan, baik untuk tahun ini dan tahun depan.
Langkah ini disiapkan untuk mencapai target konsolidasi fiskal menekan defisit di bawah 3 persen pada 2023.
Apa saja yang dilakukan pada tahun 2022?
Di tahun 2022, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini lebih dulu mengoptimalisasi Saldo Anggaran Lebih (SAL) dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) tahun 2021 alih-alih menarik utang baru.
Selain itu, memanfaatkan skema kerja sama berbagi beban (burden sharing) dengan Bank Indonesia (BI). Skema tanggung renteng itu tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) I dan SKB III yang masih berlanjut hingga tahun 2022.
Sampai Februari 2022, BI telah membeli surat utang pemerintah Rp 8,76 triliun berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) I, dengan rincian pembelian SUN Rp 6,06 triliun dan SBSN Rp 2,70 triliun.
Lewat skema-skema tersebut, penarikan utang pemerintah sudah susut sekitar Rp 100 triliun pada Maret 2022 dari target semula.
Baca juga: Kemenag Segera Cairkan Dana BOS Madrasah Senilai Rp 1,3 Triliun
"Kami akan mengurangi issuance (penerbitan) utang dengan penggunaan SAL. Sampai Maret penurunan (penerbitan utang) Rp 100 triliun," sebut dia.
Sebelumnya, penarikan utang juga sudah turun 66,1 persen pada Februari 2022. Realisasi pembiayaan melalui penerbitan utang di bulan itu sebesar Rp 92,9 triliun atau 9,5 persen dari target APBN Rp 973,6 triliun. Pembiayaan menyusut dari Rp 273,8 triliun di Februari tahun 2021.
Secara lebih rinci, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto hingga Februari 2022 sebesar Rp 67,7 triliun atau 6,8 persen dari target Rp 991,3 triliun. Penerbitannya -75,1 persen dari Rp 271,4 triliun di Februari 2021.
Lalu, pinjaman neto mencapai Rp 25,2 triliun atau tumbuh 954,4 persen. Menyusutnya pembiayaan utang berdampak positif kepada posisi imbal hasil (yield) di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.
Bagaimana pengelolaan utang RI di tahun depan?
Sri Mulyani yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Indonesia (IAEI) ini menjelaskan kebijakan fiskal pada tahun 2023 juga akan difokuskan untuk pengelolaan utang.
Apalagi, ada ketidakpastian global dari sisi kenaikan inflasi di negara-negara maju yang berdampak pada pengetatan kebijakan moneter bank sentral AS, The Fed. Pengetatan moneter ini mempengaruhi aliran modal asing dan yield (imbal hasil) SBN.
"Kenaikan inflasi dan pengetatan moneter, maka dari sisi utang yang akan kita kelola, akan juga mengalami tekanan dari sisi jumlah bunga utang maupun cicilan yang harus dibayar. Ini yang harus kita pertimbangkan," ucap Sri Mulyani.
Oleh karena itu, kebijakan fiskal 2023 terus fokus pada mendukung pemulihan ekonomi terutama program-program prioritas yang telah ditetapkan presiden, yakni membangun kualitas SDM, membangun infrastruktur, mereformasi birokrasi, merevitalisasi industri, dan mendukung pertumbuhan ekonomi hijau.
Di sisi lain, APBN akan melakukan reformasi di bidang pendapatan negara, belanja negara, dan di bidang pembiayaan dengan membangun pembiayaan yang makin inovatif.
"Ini adalah bagian untuk mendesain APBN 2023 kembali menuju pada defisit di bawah 3 persen, yaitu agar jumlah kebutuhan untuk menerbitkan surat utang bisa diturunkan secara bertahap, namun tetap berhati-hati," ucapnya.
Baca juga: Sebaran Kasus Corona Indonesia 16 April 2022, Tertinggi DKI Jakarta dengan 193 Kasus
Secara rinci, pendapatan negara dipatok pada kisaran Rp 2.255,5 triliun hingga Rp 2.382,6 triliun untuk tahun 2023. Porsi pendapatan negara itu mencapai 11,28 - 11,76 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) RI.
Lalu, porsi belanja negara di kisaran Rp 2.818,1 triliun hingga Rp 2.979,3 triliun. Besarannya setara dengan 14,09 hingga 14,71 persen dari PDB. Belanja negara tersebut terdiri dari belanja pemerintah pusat (BPP) sekitar Rp 2.017 triliun - Rp 2.152 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) Rp 800 - 826 triliun.
"Dengan belanja tersebut dan penerimaan yang tadi telah disampaikan defisit APBN tahun depan akan dirancang pada kisaran Rp 562,6 triliun, hingga Rp 596,7 triliun atau ini berarti 2,81 hingga 2,95 persen dari PDB," tandas Sri Mulyani.