Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pada saat bertemu Presiden Joko Widodo di Kremlin Moskow, Presiden Rusia Vladimir Putin menawarkan kerja sama untuk menggarap proyek nuklir di Indonesia.
Putin menyatakan bahwa Rosatom State Corporation mempunyai pengalaman, kompetensi dan keandalan teknologi dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
"Rosatom telah mengembangkan PLTN yang terbesar di Rusia, yakni Novovoronezh Unit 6, yang berkapasitas 1.200 MW di Voronezh," ujar Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi dalam keterangan tertulis kepada Tribunnews.com, Senin (4/7/2022).
Baca juga: Rusia Pasok Rudal Iskander-M ke Sekutunya Belarusia, Dapat Dipasang Hulu Ledak Nuklir
Selain di darat, Roastom juga membangun PLTN Terapung KLT-40S, yang dapat berlayar menjelajahi sejauh 5.000 Km, dengan kapasitas sebesar 80 MW.
Rosatom saat ini menggunakan teknologi nuklir generasi terbaru, tipe reaktor VVER 1200 dengan teknologi generation 3 Plus yang merupakan pertama di dunia, dengan masa operasi selama 60 tahun.
"Sistem Pengamanan teknologi VVER 1200 memiliki zero accident standard," kata Fahmy.
Berdasarkan pengalaman, kompetensi dan keandalan teknologi yang dimiliki oleh Rosatom, tawaran Putin untuk mengembangkan PLTN di Indonesia layak diterima.
Baca juga: Seoul: Korea Utara Siap Lakukan Uji Coba Nuklir Kapan Saja Jika Dapat Perintah Kim Jong Un
PLTN adalah pembangkit listrik daya thermal yang menggunakan reaktor nuklir, dengan uranium sebagai bahan utama untuk menghasilkan listrik.
Fahmy menambahkan, PLTN termasuk energi bersih, yang dapat melengkapi bauran energi baru terbarukan (EBT) pembangkit listrik di Indonesia.
"PLTN sekaligus dapat mengatasi kelemahan Pembangkit Tenaga Surya dan Bayu, yang tidak dapat memasok listrik secara penuh sepanjang waktu, karena sifatnya intermittent, yang tergantung cahaya matahari dan hembusan angin," pungkasnya.
Sebelum kerja sama Indonesia dan Rusia direalisasikan, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Energi Nasional (DEN) harus mengubah Kebijakan Energi Nasional (KEN), yang selama ini menempatkan energi nuklir sebagai alternatif terakhir.