Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, COLOMBO - Laju Inflasi utama Sri Lanka diperkirakan akan meningkat menjadi 70 persen dalam beberapa bulan ke depan dari posisi inflasi saat ini sebesar 50 persen.
Pernyataan ini disampaikan Gubernur Bank Sentral Sri Lanka, Dr. Nandalal Weerasinghe saat briefing di Colombo, ibu kota Sri Lanka, membahas tinjauan kebijakan moneter ke-5 Bank Sentral Sri Lanka tahun 2022.
"Perhatian dan prioritas utama, dari sudut pandang bank sentral, adalah untuk mengatasi inflasi dan ekspektasi inflasi ke depan serta menurunkannya ke tingkat yang wajar sesegera mungkin. Jika Anda melihat dampak inflasi pada segmen masyarakat, yang pertama dan paling terpukul adalah orang miskin dan rentan," kata Dr. Weerasinghe seperti dikutip Daderana.lk, Jumat (8/7/2022).
Menurutnya, jika inflasi Sri Lanka melampaui kendali ke situasi hiperinflasi, tidak ada yang akan dapat melanjutkan bisnis.
Sebelumnya pada Rabu lalu, Dewan Moneter Bank Sentral Sri Lanka kembali menaikkan suku bunga dengan tujuan menahan tekanan inflasi sekaligus menjaga stabilitas makroekonomi pada periode mendatang.
Baca juga: Beban Utang Sri Lanka Capai 21,6 Triliun Rupee, PM Ranil Wickremesinghe Salahkan Tradisi Masa Lalu
Dengan demikian, Standing Deposit Facility Rate (SDFR) dan Standing Lending Facility Rate (SLFR) masing-masing meningkat 100 basis poin.
Dalam proses pengambilan keputusan tersebut Dewan Moneter mempertimbangkan dampak dari kondisi moneter yang lebih ketat terhadap kegiatan ekonomi, termasuk usaha mikro, kecil dan menengah serta kinerja sektor keuangan terhadap konsekuensi merugikan yang luas dari setiap kenaikan harga.
Baca juga: PM Sri Lanka Dikabarkan Buat Pernyataan khusus Soal Hasil Diskusi dengan IMF
Begitu pula dengan tekanan di semua sektor ekonomi dalam waktu dekat.
Menurut Bank Sentral Sri Lanka, laju inflasi utama bulan Juni mencapai rekor tertinggi 54,6 persen, terutama didorong oleh inflasi pada sektor seperti transportasi, restoran dan hotel, makanan dan minuman non-alkohol.
Pada Juni lalu, laju inflasi makanan secara keseluruhan tercatat sebesar 80,1 persen, sedangkan inflasi non-makanan sebesar 42,4 persen.
Baca juga: Sri Lanka Bangkrut, Diprediksi Berlanjut Hingga 2023
Bank Sentral Sri Lanka mencatat bahwa faktor utama yang berkontribusi pada percepatan tingkat tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam inflasi utama adalah bukan hanya kenaikan harga energi dan pangan global serta pergerakan terkait ke harga domestik.
Namun juga gangguan sisi pasokan domestik, serta dampak depresiasi rupee Sri Lanka, penyesuaian pajak dan dampak keterlambatan akomodasi moneter.
"Dalam waktu dekat, akan ada beberapa percepatan inflasi headline hingga akhir tahun ini. Perlambatan yang signifikan diperkirakan mulai dari awal tahun 2023. Inflasi headline akan mencapai jangka menengah, kisaran 46 persen pada tahun 2025," jelas Dr. Weerasinghe.
Ia menambahkan bahwa ini akan difasilitasi oleh perkembangan global dan domestik.
"Perkembangan global utama akan mencakup tren penurunan inflasi pangan dan harga minyak, ini harus didukung oleh langkah-langkah kebijakan yang tepat dari otoritas lokal termasuk pengetatan moneter dan fiskal yang akan mengurangi tekanan permintaan agregat di periode mendatang," papar Dr. Weerasinghe.
Dr. Weerasinghe menekankan, pendekatan terkoordinasi untuk manajemen krisis lah yang akan memastikan dukungan publik dan pada akhirnya membantu mewujudkan ekonomi negara yang normal.
Dia juga menegaskan bahwa langkah-langkah kebijakan perbaikan yang diambil perlu dilengkapi dengan penyesuaian kebijakan yang tepat waktu dan tepat oleh pemerintah.
"Termasuk perlunya implementasi langkah-langkah konsolidasi fiskal yang cepat, di samping program-program kesejahteraan sosial yang efisien dan efektif untuk mendukung kelompok-kelompok masyarakat yang rentan," pungkas Dr. Weerasinghe.
Terkait negosiasi dengan International Monetary Fund (IMF), Bank Sentral Sri Lanka mengatakan kemajuan signifikan telah dibuat untuk mencapai kesepakatan tingkat staf tentang pengaturan Fasilitas Dana Diperpanjang (EFF) dalam waktu dekat.
Cadangan devisa bruto Sri Lanka pada akhir Juni lalu diperkirakan mencapai 1.859 juta dolar Amerika Serikat (AS), termasuk fasilitas swap dari People's Bank of China yang setara dengan 1,5 miliar dolar AS.