TRIBUNNEWS.COM - Berikut penjelasan terkait resesi, suatu keadaan perekonomian di suatu negara dengan banyak faktor penyebab di dalamnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, berdasarkan survei Bloomberg, Indonesia masuk ke daftar 15 negara yang berpotensi mengalami resesi.
Dari daftar 15 negara, Indonesia menempati urutan ke-14.
Menteri Keuangan (Menkeu) Republik Indonesia (RI) Sri Mulyani mengatakan hal tersebut perlu diwaspadai.
Pasalnya saat ini negara-negara di dunia masih dibayangi resesi dan kenaikan inflasi.
Namun di sisi lain, dilansir Kompas.com, dilihat dari peringkat menunjukkan indikator ekonomi Indonesia jauh lebih baik dari negara-negara lain yang peringkatnya di atas Indonesia dalam survei tersebut.
Baca juga: Indonesia Berpotensi Resesi, Apa Dampaknya? Ini Tanggapan Menkeu
Lantas apa itu resesi? Faktor apa saja yang mengakibatkan fenomena perekonomian tersebut?
Resesi adalah penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Para ahli menyatakan resesi ketika ekonomi suatu negara pendapatan produk domestik bruto (PDB)-nya mengalami negatif.
Selain itu di negara tersebut terjadi peningkatan pengangguran, penurunan penjualan ritel, dan ukuran pendapatan dan manufaktur yang berkontraksi untuk jangka waktu yang lama.
Singkatnya, selama resesi, ekonomi berjuang, orang kehilangan pekerjaan, perusahaan membuat penjualan lebih sedikit dan output ekonomi negara secara keseluruhan menurun, dikutip dari Forbes.
Pada tahun 1974, ekonom Julius Shiskin mengemukakan beberapa aturan praktis untuk mendefinisikan resesi.
Dan yang paling populer adalah adalah penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut.
Ekonomi yang sehat berkembang dari waktu ke waktu, sehingga dua kuartal berturut-turut dari output yang berkontraksi menunjukkan ada masalah mendasar yang serius, menurut Shiskin.
Definisi resesi ini menjadi standar umum selama bertahun-tahun.
Sementara Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) mendefinisikan resesi sebagai penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh perekonomian, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran di suatu negara.
Definisi NBER lebih fleksibel daripada aturan Shiskin untuk menentukan apa itu resesi.
Termasuk pengaruh pandemi virus corona yang pengaruhi pertumbuhan resesi.
Baca juga: Amerika Serikat Sedang Masuki Resesi Ringan, Ini Tanda-tandanya
Penyebab Resesi
Berikut fenomena-fenomena yang bisa menjadi faktor serta penyebab terjadinya resesi di suatu negara:
1. Guncangan ekonomi yang tiba-tiba
Guncangan ekonomi adalah masalah kejutan yang menimbulkan kerugian finansial yang serius.
Wabah virus corona, yang mematikan ekonomi di seluruh dunia, adalah contoh terbaru dari kejutan ekonomi yang tiba-tiba.
2. Utang yang berlebihan
Ketika individu atau bisnis mengambil terlalu banyak utang, biaya pembayaran utang dapat meningkat ke titik di mana mereka tidak dapat membayar tagihan mereka.
Tumbuh default utang dan kebangkrutan kemudian membalikkan perekonomian.
Gelembung perumahan di tengah-tengah yang menyebabkan Resesi Hebat adalah contoh utama dari utang berlebihan yang menyebabkan resesi.
3. Gelembung aset
Ketika keputusan investasi didorong oleh emosi, hasil ekonomi yang buruk niscaya akan terjadi.
Investor bisa menjadi terlalu optimis selama ekonomi kuat.
Mantan Ketua Fed Alan Greenspan dengan terkenal menyebut kecenderungan ini sebagai "kegembiraan irasional," dalam menggambarkan keuntungan besar di pasar saham pada akhir 1990-an.
Kegembiraan yang irasional menggelembungkan pasar saham atau gelembung real estate, dan ketika gelembung itu meletus, penjualan panik dapat menghancurkan pasar, menyebabkan resesi.
4. Terlalu banyak inflasi
Inflasi adalah tren kenaikan harga yang stabil dari waktu ke waktu.
Inflasi bukanlah hal yang buruk, tetapi inflasi yang berlebihan adalah fenomena yang berbahaya.
Bank sentral mengendalikan inflasi dengan menaikkan suku bunga, dan suku bunga yang lebih tinggi menekan aktivitas ekonomi.
5. Terlalu banyak deflasi
Sementara inflasi yang tidak terkendali dapat menciptakan resesi, deflasi bisa menjadi lebih buruk.
Deflasi adalah ketika harga turun dari waktu ke waktu, yang menyebabkan upah berkontraksi, yang selanjutnya menekan harga.
Ketika lingkaran umpan balik deflasi menjadi tidak terkendali, orang dan bisnis menghentikan pengeluaran, yang melemahkan ekonomi.
Bank sentral dan ekonom memiliki sedikit alat untuk memperbaiki masalah mendasar yang menyebabkan deflasi.
Kasus tersebut tampak dalam perjuangan Jepang dengan deflasi hampir sepanjang tahun 1990-an menyebabkan resesi yang parah.
6. Perubahan teknologi
Penemuan-penemuan baru meningkatkan produktivitas dan membantu perekonomian dalam jangka panjang, tetapi mungkin ada periode penyesuaian jangka pendek terhadap terobosan teknologi.
Pada abad ke-19, ada gelombang perbaikan teknologi yang menghemat tenaga kerja.
Revolusi Industri membuat seluruh profesi menjadi usang, memicu resesi dan masa-masa sulit.
Saat ini, beberapa ekonom khawatir bahwa AI dan robot dapat menyebabkan resesi dengan menghilangkan seluruh kategori pekerjaan.
15 Negara Berpotensi Alami Resesi
Menkeu Sri Mulyani menyebut walaupun Indonesia masuk di urutan ke-14 namun hal tersebut jauh lebih baik dari negara lain.
Risiko-risiko yang terjadi dalam kegiatan perekonomian pun lebih rendah dibandingkan negara lain.
Baca juga: Tanda-tanda Eropa Mulai Resesi, Nilai Tukar 1 Euro Setara 1 Dolar AS
“Itu menggambarkan bahwa dari indikator neraca pembayaran kita, APBN kita, ketahanan dari GDP kita, dan juga dari sisi korporasi maupun dari rumah tangga serta monetery policy kita relatif dalam situasi yang tadi disebutkan risikonya 3 persen dibandingkan negara lain yang potensi untuk bisa mengalami resesi jauh di atas yaitu di atas 70 persen," ujar Sri Mulyani saat konferensi pers di Bali, Rabu (13/7/2022).
Seperti diketahui 15 negara yang berpotensi resesi yakni, Sri Lanka, New Zealand, Korea Selatan, Jepang, China, Hongkong, Australia, Taiwan, Pakistan, Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, Indonesia, lalu India.
(Tribunnews.com/Garudea Prabawati) (Kompas.com/Isna Rifka Sri Rahayu)