TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Di tengah proyeksi krisis ekonomi dan resesi global yang diakibatkan oleh gelombang inflasi pasca pandemi dan tensi politik global, Indonesia diperkirakan masih relatif jauh dari resesi.
Sejumlah indikator di dalam negeri dinilai relatif cukup aman menahan angin resesi yang dipicu oleh sejumlah sentimen negatif dari sejumlah kondisi di luar Indonesia. Investor didorong untuk mampu mengendalikan “kepanikan”.
Hal itu mengemuka dalam webinar Investment Talk Series dengan tema “Potensi Market Semester 2-2022” yang diselenggarakan oleh D Origin Advisory bekerjasama dengan IGICO Advisory, Minggu (17/7/2022).
Baca juga: Resesi Disebut Mengancam Berbagai Negara, Puncak Inflasi Masih Akan Terjadi
Chief Economist PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan, probabilitas Indonesia terkena resesi global adalah sebesar 5 persen. Sebagai gambaran, bersumber dari data Bloomberg, probabilitas Amerika Serikat terkena resesi adalah 40 persen.
“Artinya, Indonesia masih jauh dari resesi. (Untuk Indonesia) saya lihat ini volatility, alih-alih tsunami,” ujar Budi saat memberikan pemaparan.
Kendati Indonesia dikatakan masih jauh dari krisis gobal, Budi berkelakar bahwa Indonesia sesungguhnya menghadapi ancaman krisis yang lebih pasti, yakni "growing old before growing rich” atau “menua sebelum kaya”.
Budi menyebutkan bahwa demografi penduduk Indonesia akan mulai menua pada 2030. Hal itu akan menjadi risiko apabila masyarakat belum menyiapkan investasi sedari sekarang.
Baca juga: DPR Ingatkan Menkeu Sri Mulyani Agar Jangan Remehkan Ancaman Resesi Ekonomi
“Makanya kita persiapkan investasi dari sekarang.”
Dia mengakui, selama berpuluh tahun mengamati kondisi ekonomi, ada sejumlah hal yang membedakan antara krisis 1998, krisis 2008, 2013, dan krisis 2020 serta krisis kali ini yang dipicu oleh situasi pandemi.
Pada krisis yang disebabkan oleh pandemi, berbagai negara melakukan pagelaran stimulus luar biasa. Dia mencontohkan bank sentral yang menciptakan likuiditas luar biasa sehingga suku bunga rendah. Kemudian ada fenomena kenaikan aset kripto.
Namun, globalisasi telah menyebabkan proses penemuan vaksin berlangsung sangat cepat, yakni hanya 9 bulan – tercepat dalam sejarah. Hal ini menyebabkan ketimpangan stimulus di tengah pandemi, juga dinamika lainnya termasuk pembukaan kembali mobilitas.
Baca juga: Pengertian Resesi, Penyebabnya Termasuk Perubahan Teknologi, Inflasi, hingga Utang Berlebihan
Pandemi juga telah menyebabkan pembatasan pergerakan orang serta hilangnya banyak nyawa, sehingga ada kelangkaan tenaga kerja dan modal. Ada kebutuhan untuk menaikkan suku bunga. Namun, di saat yang sama, ada ancaman inflasi tinggi pasca pandemi. “Di AS, persoalan ini lebih kompleks lagi,” katanya.
Baik di Indonesia dan di dunia, kita perlu mewaspadai inflasi tinggi yang diperkirakan akan berlangsung cukup lama. Adapun, lanjutnya, Indonesia sebetulnya memiliki posisi yang cukup diuntungkan. Pasalnya, inflasi saat ini dipicu oleh pergerakan komoditas.
“Komoditas itu ada dua jenis. Ada cost commodity seperti minyak. Ada income commodity yang menghasilkan valas, seperti coal, nikel, karet, CPO, dan gas. Sejauh ini, kita masih beruntung karena income commodity kita tumbuh lebih pesat ketimbang cost commodity.”