Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menegaskan menolak rencana revisi Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan memohon presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melindungi kelangsungan usaha industri hasil tembakau (IHT) legal nasional yang telah berkontribusi nyata bagi penerimaan negara dan serapan tenaga kerja (padat karya).
Hal ini sejalan dengan arahan Presiden Jokowi yang berkomitmen memastikan proses reformasi struktur ekonomi dan perbaikan iklim usaha dengan meletakkan dasar-dasar baru bagi pertumbuhan yang lebih kuat dan berkelanjutan, salah satunya memberikan kepastian hukum.
Baca juga: GAPPRI: Simplifikasi Cukai Hasil Tembakau Akan Menekan Pabrik Rokok dan Petani Tembakau
Adanya upaya dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) yang menggelar uji publik terkait Perubahan Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan pada hari Rabu, 27 Juli 2022 di ruang Herritage, Kemenko PMK, menurut Henry Najoan cukup mengagetkan dan terkesan dipaksakan untuk segera mensahkan perubahan PP 109/2012 tersebut.
“Gappri dengan tegas menolak perubahan PP 109/2012. Pasalnya, kami melihat PP 109/2012 yang ada saat ini masih relevan untuk diterapkan,” tegas Henry Najoan dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (27/07/2022).
Henry Najoan beralasan, jika tujuan perubahan PP 109/2012 untuk menurunkan prevalensi perokok pada anak-remaja dengan indikator prevalensi, seharusnya tidak perlu dilakukan mengingat data resmi pemerintah menunjukkan angka prevalensi sudah turun jauh bahkan sudah turun dari target tahun 2024.
Henry Najoan menyebutkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional KOR (SUSENAS KOR) yang menyatakan bahwa prevalensi perokok anak terus menurun. Dari 9,1 persen di tahun 2018, turun menjadi 3,87 persen di tahun 2019, turun lagi di tahun 2020 menjadi 3,81 persen, bahkan tinggal 3,69 persen di tahun 2021.
Selain itu, dokumen resmi pemerintah Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2023, halaman 87, menyatakan bahwa indikator kesehatan persentase merokok penduduk usia 10-18 tahun turun. Di tahun 2013 sebesar 7,2 persen, kemudian turun menjadi 3,8 persen di tahun 2020.
Baca juga: Akademisi dan Pengusaha Minta Pemerintah Lindungi Industri Hasil Tembakau
“Argumentasi untuk menurunkan prevalensi jumlah perokok pemula tidak memiliki dasar yang valid karena tanpa adanya revisi PP 109/2012, prevalensi perokok anak telah mengalami penurunan sebagaimana data resmi pemerintah di atas,” tegas Henry Najoan.
“Menurut hemat kami, pengendalian yang dilakukan pemerintah telah berjalan dengan baik sehingga belum diperlukan perubahan PP 109/2012,” ujar Henry Najoan menambahkan.
Gappri juga menyoroti isi draf perubahan PP 109/2012 yang cenderung pelarangan. Hal itu justru semakin restriktif terhadap kelangsungan iklim usaha IHT di tanah air.
“Kalau mengacu ketentuan perundang-undangan, seharusnya dititiktekankan pada pengendalian, tetapi draf yang kami terima justru banyak yang bentuknya pelarangan,” terang Henry Najoan.
Lantas, Henry Najoan membeberkan pasal-pasal dalam draf RPP yang mengganggu kelangsungan IHT, yakni Pasal 24, Pasal 25e, Pasal 25f, Pasal 27, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 40. Pasal-pasal tersebut mengatur larangan Iklan, Promosi dan Sponsor Produk Tembakau, Larangan Penjualan Rokok Batangan, dan Pengawasan yang diskriminatif dan tidak mengedepankan edukasi.
“Merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 71/PUU-XI/2013 atas Iklan dan Promosi Rokok dan Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009 atas Perkara Permohonan Pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memutuskan bahwa rokok adalah produk legal yang memiliki hak untuk berkomunikasi dengan konsumen dewasa melalui media iklan dan promosi,” jelas Henry Najoan.
Gappri juga mengkhawatirkan pengaturan peringatan kesehatan bergambar (PHW) sebesar 90 persen. Pasalnya, besarnya gambar peringatan seluas itu berpotensi menimbulkan rokok ilegal dan rokok palsu.
Henry Najoan menambahkan, kecilnya ruang untuk merek juga menyulitkan konsumen untuk mengenali produk. Apabila diberlakukan, perbesaran peringatan justru bertentangan dengan hak konsumen sebagaimana Undang Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 4 bahwa hak atas kenyamanan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Baca juga: Naiknya Tarif Cukai Rokok Dinilai Akan Buat Produksi Petani Tembakau Menurun
Ketentuan tersebut juga mengabaikan merek dagang sebagaimana Undang Undang Merek No. 20 Tahun 2016 tentang Hak Kekayaan Intelektual, mengingat merek menjadi penting untuk menjaga persaingan usaha yang sehat.
“Dalam pandangan kami, saat ini dengan peringatan kesehatan bergambar (PHW) sebesar 40 persen merupakan jalan tengah yang mengakomodasi semua pihak, yakni pemerintah, pelaku usaha maupun anti tembakau,” pungkasnya.