Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) akan memperketat kebijakan moneter dan akan terus menahan pergerakan suku bunga utama demi menurunkan laju inflasi, Kamis (18/8/2022).
Suku bunga Standing Lending Facility (LKSLFR=ECI) akan ditahan di level 15,50 persen sedangkan suku bunga Standing Deposit Facility (LKSDFR=ECI) tetap dibiarkan berada di angka 14,50 persen, mengutip dari Reuters.
Langkah ini diambil CBSL lantaran suku bunga di Sri Lanka di sepanjang tahun ini telah tembus di rekor 950 basis poin, melonjaknya harga pangan dan energi pasar global.
Kondisi tersebut diperburuk oleh pembengkakan utang di tengah krisis devisa telah membuat angka inflasi di Sri Lanka melesat ke rekor tertinggi mencapai 60,8 persen year on year (YoY) di bulan Juli.
Angka inflasi bahkan mengantarkan Sri Lanka masuk ke dalam jurang resesi.
Dengan menahan suku bunga, CBSL meyakini bahwa caranya tersebut dapat membantu menahan tekanan permintaan agregat, dengan begitu harga komoditas di pasar domestik perlahan dapat menurun.
Baca juga: Krisis Keuangan, Sri Lanka Pertimbangkan Restrukturisasi Utang Lokal dan Negara
Mengingat dalam beberapa bulan terakhir pasokan listrik, bahan bakar minyak (BBM), hingga bahan pangan terus mengalami gejolak panas hingga memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi dan membuat jutaan warga Sri Lanka terancam tak lagi dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.
"Dalam sampai pada keputusan ini, dewan mempertimbangkan proyeksi berbasis model terbaru, yang mengarah pada kontraksi aktivitas yang lebih besar dari yang diharapkan dan pelonggaran tekanan harga yang lebih cepat dari yang diharapkan," kata CBSL.
Baca juga: Krisis Keuangan, Sri Lanka Pertimbangkan Restrukturisasi Utang Lokal dan Negara
Meski cara yang diambil CBSL ini perlahan dapat menstabilkan harga - harga di Sri Lanka, namun dengan mempertahankan suku bunga di level rendah akan membuat pertumbuhan ekonomi Sri Lanka berkontraksi dan melemah hingga kuartal ketiga mendatang.
"Prakiraan PDB kami tetap tidak berubah pada kontraksi 7,5 persen hingga 9,0 persen pada saat ini," ujar Lakshini Fernando, ahli ekonomi makro di Asia Securities.
Baca juga: Sri Lanka akan Negosiasikan Paket Darurat 4 Miliar Dolar AS dengan China
"Kuartal 2 dan 3 pasti akan menjadi pukulan terburuk. Yang paling curam kemungkinan akan terjadi di kuartal kedua mengingat ketegangan politik dan kekurangan bahan bakar yang terlihat pada bulan Juni dan Juli, " jelas Lakshini Fernando.