Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom senior Faisal Basri mengecam subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) karena lebih banyak dihabiskan oleh orang kaya. Faisal mengatakan, subsidi BBM mayoritas dinikmati pengguna mobil pribadi.
"Untuk pertalite, 70 persen dipakai mobil. Dari 70 persen itu, 98 persen mobil pribadi," ucap Faisal dikutip Rabu (31/8/2022).
Ada pun dari 30 persen sepeda motor pengonsumsi pertalite, 90 persen merupakan kendaraan pribadi. Di luar cakupan itu, pertalite dikonsumsi kendaraan angkutan umum atau angkutan daring.
Baca juga: Pemerintah Mulai Bagikan BLT Pengalihan Subsidi BBM, Harga Pertalite Bakal Segera Naik?
Harga pertalite saat ini masih disubsidi, meski pemerintah tidak menyebutnya secara spesifik. Anggaran subsidi diletakkan di berbagai pos APBN hingga anggaran BUMN.
Pernyataan Faisal selaras dengan temuan sejumlah penelitian yang menunjukkan hingga 80 persen subsidi BBM dinikmati orang mampu.
Bila mengacu pernyataan Kementerian Keuangan bahwa subsidi BBM mencapai Rp 502 triliun per tahun, maka orang kaya Indonesia menhabiskan Rp 400 triliun subsidi BBM.
Anggota DPR RI Adian Napitupulu menengarai paling tidak Rp 56 triliun subsidi BBM dinikmati perkebunan sawit. Bahkan, nilainya bisa mendekati Rp 147 triliun per tahun.
"Jadi subsidi ini untuk perusahaan atau rakyat? Jangan-jangan yang terima perkebunan besar?” ujarnya.
Perkebunan sawit, yang 332 di antaranya dimiliki perusahaan asing, menikmati subsidi dengan cara membeli solar untuk angkutan hasil panen. Padahal, negara hanya menerima Rp 20 triliun per tahun dari pajak sawit.
Baca juga: Pengamat: Penyesuaian Harga BBM Penting untuk Jaga Kesejahteraan Publik
Adian juga menyoroti damapk kemacetan yang menghabiskan Rp 71 triliun di Jakarta dan sekitarnya saja.
"Kalau menghitung kota besar lain, nilainya bisa mencapai Rp 300 triliun," kata Adian.
Faisal menyebut, pola itu mengungkap ketidakadilan serius dan jelas sangat merugikan masyarakat miskin. Fakta itu mematahkan pendapat bahwa subsidi BBM harus diberikan sebagai bentuk keberpihakan pada masyarakat miskin.
Jika pemerintah serius membantu masyarakat miskin, lebih baik mengalihkan subsidi ke pola lain. Pola itu harus tetap sasaran dan benar-benar diterima masyarakat miskin.
Faisal juga mengingatkan, Indonesia bukan negara kaya minyak.
Sejak beberapa tahun terakhir, Indonesia menghabiskan miliaran dollar AS per tahun untuk mengimpor minyak. Sebab, produksi minyak di bawah kebutuhan nasional.
Baca juga: BLT BBM Perdana Disalurkan Presiden Jokowi di Papua
Indonesia memang pernah mengalami periode ekspor migas lebih tinggi dibandingkan impornya. Namun, Indonesia berhenti mengalami surplus perdagangan migas dan energi sejak 2007.
"Sejak 2013 malah sudah defisit perdagangan minyak," kata dia.
Dalam 9 tahun terakhir, Indonesia mengimpor minyak lebih banyak dibandingkan ekspornya. Pada 2019, defisitnya mencapai 59,1 juta barel. Jika dihitung dalam nilai uang, Indonesia menanggung defisit 8 miliar dollar AS pada 2018-2019 saja.
Nilai itu setara lima persen APBN Indonesia saat ini. Dalam 20 tahun ke depan, defisit itu akan membesar dan mencapai 40 miliar dollar AS pada 2040.
Faisal mengatakan, kondisi industri migas dalam negeri memang menyulitkan untuk memacu produksi. Banyak sumur minyak sudah amat tua sehingga produksinya menurun.
Baca juga: BLT BBM Rp 600 Ribu Cair Mulai Besok, Ini Cara Penyaluran di Kantor Pos dan Cek Penerimanya
Ada pun gas Indonesia mengandung banyak metana sehingga lebih cocok dijadikan LNG. Padahal, Indonesia membutuhkan LPG yang bahan dasarnya gas alam dengan kandungan mayoritas propana.