Laporan Wartawan Tribunnews.com, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW – Ancaman kiamat bahan bakar di Eropa semakin dekat, setelah Rusia memperpanjang penangguhan aliran gas Pipa Nord Stream 1 ke kilang Jerman.
Sebelum keputusan ini dibuat, Moskow awalnya telah berjanji kepada Eropa untuk membuka aliran gas Gazprom yang dialirkan ke pipa Nord Stream 1 pada hari Sabtu (3/9/2022) pukul 1.00 GMT.
Setelah tiga hari sebelumnya aliran gas ini dihentikan, akibat adanya pemeliharaan turbin.
Namun, karena perusahaan Gazprom menemukan kebocoran di turbin vital, aktivitas pengiriman gas dan minyak terpaksa diberhentikan kembali hingga batas waktu yang tak ditentukan.
Baca juga: Gazprom: Pasokan Gas Nord Stream ke Uni Eropa Berhenti Tanpa Batas Waktu, Jerman Makin Kelimpungan
Tindakanan inilah yang kemudian memicu kekhawatiran jutaan warga Eropa akan terjadinya kiamat bahan bakar.
Juru bicara Komisi Eropa Eric Mamer menuduh penangguhan pipa Nord Stream 1 yang dilakukan raksasa migas Gazprom hanyalah dalih yang mengada-ada, dengan tujuan untuk mematikan ekonomi Eropa.
Senada dengan Eric Mamer, Siemens Energy yang biasanya melakukan pelayanan pada turbin Nord Stream 1 juga mengatakan bahwa kebocoran seperti itu seharusnya tidak menghentikan operasi pipa, karena kebocoran tak akan mengganggu aktivitas pengiriman.
"Ini adalah manipulasi, kebocoran seperti itu biasanya tidak mempengaruhi pengoperasian turbin dan dapat ditutup di lokasi. Ini adalah prosedur rutin dalam lingkup pekerjaan pemeliharaan," kata perusahaan Siemens Energy.
Mengetahui tuduhan yang ramai dilontarkan ke negaranya, Rusia pun menyangkal telah menggunakan gas sebagai senjata ekonomi untuk memanipulasi pasar gas.
Rusia menyebut bahwa sanksi Barat lah yang telah menghambat operasi rutin dan pemeliharaan dari Nord Stream 1.
Imbas dari penangguhan tersebut, kini negara-negara Eropa harus berjuang lebih keras mengisi ulang tangki penyimpanan untuk musim dingin mendatang.
Baca juga: Balas Sanksi Barat, Rusia Kembali Hentikan Aliran Gas Nord Stream 1 ke Eropa
Langkah ini diambil Eropa demi mengantisipasi terjadinya lonjakan harga energi, yang dapat memicu resesi atau perlambatan ekonomi selama musim dingin mendatang.
Reuters mencatat per Agustus kemarin harga gas grosir di Eropa telah meroket naik hingga tembus ke level 400 persen, tertinggi sejak Agustus 2021.