TRIBUNNEWS.COM - Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Teguh Dartanto menilai penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah kebijakan terbaik yang mesti diambil pemerintah agar APBN tidak defisit.
Menurut Teguh, penyesuaian harga BBM merupakan hal wajar yang dilakukan di setiap periode pemerintahan.
"Banyak orang berpikir bahwa kenaikan BBM hanya terjadi di masa sekarang saja, padahal tidak."
"Sejak Presiden Soekarno hingga saat ini, data menunjukkan sudah 62 kali penyesuaian harga BBM, Presiden Soekarno 3 Kali, Presiden Jokowi 10 kali, dan yang tidak melakukan adalah Presiden Habibi karena saat itu situasinya berbeda," ungkap Teguh dikonfirmasi Tribunnews.com, Selasa (6/9/2022).
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI ini mengungkapkan posisi Indonesia saat ini yang sebagai net importir BBM, menyebabkan pembelian menggunakan ketentuan harga minyak dunia dan saat akan dijual memakai harga domestik.
Sehingga terdapat selisih besar yang ditanggung APBN dan akan berpotensi defisit di tengah kenaikan harga minyak dunia saat ini.
Baca juga: Tolak Kenaikan Harga BBM, Ribuan Buruh Bakal Gelar Aksi di Depan Gedung DPR Hari Ini
Dampak Kenaikan
Lebih lanjut Teguh juga mengungkapkan pemerintah sudah mengantisipasi dampak penyesuaian BBM.
"Ketika Pemerintah sudah menaikkan harga BBM, implikasinya memang cukup banyak di dalam konteks makroekonomi."
"Tetapi yang pertama adalah fiskal APBN lebih sehat dan yang kedua memang dengan penyesuaian harga ini akan mengurangi konsumsi bahan bakar minyak dan mengurangi impor BBM, sehingga mampu melonggarkan tekanan kepada nilai tukar," ujarnya.
Terkait dampak lainnya, ia memandang dampak dari kenaikan BBM saat ini tidak sebesar dampak Covid-19.
Oleh sebab itu, Teguh menilai penyaluran BLT yang dilakukan pemerintah adalah langkah yang tepat.
Baca juga: Menhub: Tarif Bus dan Ojol Segera Menyesuaikan Kenaikan Harga BBM, Ini Kira-kira Besarannya
Teguh juga meyakini Kemensos telah menyiapkan data untuk menyalurkan bantuan agar dapat didistribusikan kepada pihak masyarakat yang berhak.
"Pemerintah telah memiliki pengalaman yang cukup panjang terkait Bantuan Sosial dan cukup siap dengan penyesuaian harga BBM."
"Dan juga patut diingat, saat pandemi Covid-19 kemarin pemerintah telah banyak memberikan bantuan sosial dan merupakan bentuk mitigasi dampak Covid-19.". Pungkasnya.
Teguh juga berharap pemerintah mampu mengalihkan sebagian subsidi BBM untuk pengembangan energi baru dan terbarukan.
Seperti insentif penggunaan solar panel di rumah tangga, untuk mendorong pengembangan indsustri-industri yang ramah lingkungan.
Demo Penolakan
Sementara itu terkait respons masyarakat, ia menilai sebagai negara demokrasi, aksi demonstrasi merupakan hal yang wajar manun harus menghindari anarkisme.
"Dalam hal ini, yang seharusnya dapat disuarakan adalah bukan terkait penurunan BBM, tetapi memastikan Pemerintah agar bantuan sosial kepada masyarakat bawah itu dilaksanakan dengan baik," ujar teguh.
Baca juga: Demo Besar Tolak Kenaikan Harga BBM Bukan di Depan Istana Negara Tapi di DPR, Ini Tujuan Buruh
Ia mengatakan kenaikan harga BBM ini harus dilihat sebagai sebuah kesempatan melakukan reformasi kebijakan energi nasional.
"Ini menjadi kesempatan Pemerintah untuk fokus melakukan transisi energi ke arah yang lebih hijau dan sustainable," pungkasnya.
Diketahui pemerintah menyesuaikan harga BBM bersubsidi dan penyesuaian harga BBM non subsidi, Sabtu (3/9/2022) lalu.
Harga Pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter.
Harga Solar subsidi naik dari Rp 5.150 per menjadi Rp 6.800 per liter.
Lalu, harga Pertamax non-subsidi naik dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.
Sementara itu, pemerintah mulai menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT) BBM kepada sejumlah lapisan masyarakat.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto)