Informasi asimetris inilah yang membuat terjadinya penolakan masyarakat terhadap keputusan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM tersebut.
"Rakyat masih mengandalkan negara untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan mayoritas dari mereka (69 persen) masih percaya bahwa Presiden Joko Widodo mampu memitigasi dampak krisis ekonomi global," imbuh Sirojudin.
"Memang penjelasan tentang pemberian subsidi kepada keluarga penerima manfaat daripada hanya kepada komoditas tertentu perlu lebih dimasifkan, agar penolakan tidak meluas," pungkas Sirojuddin.
Selanjutnya politisi reformasi Fahri Hamzah mengatakan bahwa banyak politikus yang mengambil ruang publik para pakar ekonomi, sehingga kampanye pemerintah tentang kenaikan harga BBM kerap didistorsi oleh segelintir kelompok kepentingan.
Fahri menjabarkan, penjelasan-penjelasan tentang arah dan perkembangan ekonomi Indonesia memang harus dibenahi secara serius, sehingga tidak membingungkan masyarakat.
"Akibatnya, ketika pemerintah menyatakan perlu menyelamatkan APBN dari inflasi dan tekanan krisis ekonomi global, masih banyak masyarakat tidak memahami, yang kemudian dimanfaatkan oleh para politisi untuk mencapai tujuan tertentu. Situasi seperti ini harus diakhiri," ujar Fahri.
Pemerhati isu strategis dan politik global Imron Cotan dalam tanggapannya menyampaikan bahwa saat ini memang sudah saatnya mengubah kebijakan memberi subsidi kepada produk, menjadi kepada keluarga penerima manfaat.
Direktur Eksekutif Moya Institute Heri Sucipto mengatakan bahwa kenaikan harga BBM tidak dapat ditampik memang menimbulkan efek dalam kehidupan ekonomi rakyat.
"Oleh sebab itu, keputusan pemerintah untuk menjaga tingkat konsumsi publik, melalui peluncuran program bantalan sosial, perlu didukung dan diawasi secara ketat," terangnya.