Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyatakan, faktor risiko eksternal terutama bersumber dari perkembangan inflasi global, dan kebijakan moneter hawkish bank sentral global yang telah memicu kekhawatiran akan terjadinya stagflasi.
Kebijakan moneter dari The Fed yang agresif telah menyebabkan arus capital outflow atau aliran modal keluar dari pasar negara berkembang, dan juga kenaikan indeks dolar yang mendepresiasi mata uang di beberapa negara.
Ketua LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, tekanan pada nilai tukar rupiah cenderung terkendali di tengah arus capital outflow, terutama pada pasar obligasi.
Baca juga: Modal Asing Rp 3,53 Triliun Keluar dari Pasar Keuangan Domestik Dalam Sepekan
"Rata-rata nilai tukar rupiah berada di level Rp 14.881 per dolar AS (16 September 2022). Meskipun demikian, risiko volatilitas nilai tukar dan potensi capital outflow pasar keuangan masih perlu diwaspadai, sejalan dengan masih berlangsungnya normalisasi kebijakan moneter global," ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (27/9/2022).
Sementara itu, ketahanan perbankan masih terjaga dengan permodalan dan likuiditas yang memadai, tapi perlu diantisipasi laju pertumbuhan DPK yang mulai melandai.
Fundamental kondisi perbankan yang relatif kuat ditunjukkan dengan rasio permodalan (KPMM) industri yang berada di level 24,83 persen, dan rasio alat likuid (AL/NCD) di kisaran 117,99 persen.
Selain itu, kinerja pertumbuhan kredit bank umum melanjutkan pemulihan, di mana pada Agustus 2022 tumbuh sebesar 10,62 persen year on year (yoy), serta pertumbuhan DPK sebesar 7,77 persen yoy.
"Memasuki semester II tahun 2022, pertumbuhan kredit menunjukkan kinerja yang lebih tinggi dibandingkan penghimpunan DPK," kata Purbaya.
Baca juga: Suku Bunga Acuan Dinaikkan 50 Persen, IHSG Menguat 0,43 Persen ke 7.218,
Secara kesuluruhan, dia menambahkan, kinerja intermediasi perbankan secara tahunan terus meningkat disertai risiko kredit yang terus membaik.
"Sementara pada sisi penghimpunan dana, pertumbuhan yang melambat berpotensi mempengaruhi strategi pengelolaan likuiditas bank," pungkasnya.