Bebani Pengusaha, Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Perubahan Kebijakan Devisa Hasil Ekspor
APKI berharap kebijakan ini dapat dirancang secara lebih komprehensif agar tidak menghambat daya saing ekspor nasional.
Penulis: Sanusi
Editor: Muhammad Zulfikar

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) mendesak Pemerintah untuk meninjau ulang perubahan Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang akan mulai diberlakukan pada 1 Maret 2025.
Revisi PP 36/2023 mewajibkan pelaku usaha di empat sektor, yaitu pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan, untuk menempatkan dari 30 persen menjadi 100 persen nilai ekspor di bank dalam negeri dengan durasi penyimpanan dari 3 bulan menjadi 12 bulan.
Baca juga: Kontribusi Devisa Rp 1,4 Miliar, Bea Cukai Tual Maluku Ekspor Perdana Ikan Kerapu Hidup ke Hong Kong
APKI menilai bahwa kebijakan ini tidak relevan bagi industri pulp dan kertas, yang sebenarnya tidak termasuk dalam kategori “kehutanan” atau memanfaatkan sumber daya alam (SDA) sebagaimana dimaksud dalam peraturan tersebut.
Ketua Umum APKI Liana Bratasida, menekankan bahan baku industri pulp dan kertas berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI), yang merupakan investasi berbasis keberlanjutan. HTI tidak memanfaatkan sumber daya alam dari hutan alam, melainkan ditanam, dikelola, dan dipanen oleh industri sendiri dalam siklus yang terencana. Selain itu, industri ini juga menggunakan Kertas Daur Ulang (KDU) sebagai bahan baku, sejalan dengan penerapan prinsip ekonomi sirkular.
Baca juga: Prabowo Ungkap Alasan Devisa Hasil Ekspor Harus Diparkir Selama Setahun di Indonesia
“Oleh karena itu, industri pulp dan kertas tidak seharusnya dimasukkan ke dalam kategori sektor ‘kehutanan’ yang diatur dalam PP 36/2023. Karakteristik bahan baku dan pengelolaannya sangat berbeda dengan pemanfaatan sumber daya alam pada sektor kehutanan yang dimaksud dalam peraturan tersebut,” jelas Liana.
Dampak Kebijakan terhadap Industri
Kebijakan baru ini dinilai berpotensi memberatkan industri pulp dan kertas. "Jika nilai DHE yang harus ditempatkan dinaikkan menjadi 100 persen dengan durasi penyimpanan 12 bulan, maka beban biaya pengusaha akan meningkat signifikan. Hal ini juga mengurangi fleksibilitas pelaku usaha dalam mengelola modal kerja," ungkap Liana.
Ia juga menyoroti bahwa kebijakan sebelumnya, yang hanya mewajibkan penempatan 30 persen DHE selama 3 bulan, sudah memberikan tantangan besar bagi sektor ini. Dengan perubahan ini, beban biaya akan melonjak drastis.
“Saat ini, suku bunga pinjaman bank mencapai 9 persen-10 persen per tahun, sedangkan insentif DHE-SDA hanya sebesar 4 persen-5 persen. Ketimpangan ini menyebabkan peningkatan biaya modal hingga 5 persen-6 persen, yang sangat membebani sektor ekspor,” tambahnya.
APKI meminta pemerintah untuk mengevaluasi ketentuan dalam Pasal 5 PP No. 36 Tahun 2023 dan memastikan bahwa industri pulp dan kertas dikecualikan dari kewajiban retensi DHE-SDA.
“HTI adalah hutan berbasis investasi yang berkelanjutan dan tidak tergolong sebagai eksploitasi sumber daya alam hutan. Dengan demikian, industri pulp dan kertas tidak seharusnya diperlakukan sama dengan sektor kehutanan dalam PP 36/2023,” tegas Liana.
Baca juga: Isuzu Ekspor 8.000 Unit Truk dari Pabrik Karawang di 2024
Selain itu, APKI mengusulkan agar bunga pinjaman bank yang menggunakan jaminan DHE disesuaikan dengan bunga deposito DHE-SDA di bank dalam negeri untuk mengurangi beban biaya modal kerja bagi pengusaha.
APKI berharap kebijakan ini dapat dirancang secara lebih komprehensif agar tidak menghambat daya saing ekspor nasional.
"Kami mendukung langkah pemerintah menjaga stabilitas ekonomi, tetapi kebijakan ini perlu diselaraskan dengan kondisi industri agar tidak menjadi beban tambahan bagi pengusaha yang justru menjadi motor penggerak ekspor nasional," tutup Liana.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.