Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING - Perekonomian China kembali rebound di kuartal ketiga tahun ini dengan capaian produk domestik bruto atau PDB yang tumbuh 3,9 persen secara year-on-year (yoy).
Namun kebangkitan ekonomi China dalam jangka panjang harus menghadapi pembatasan Covid-19 yang terus-menerus dilakukan, kemerosotan properti yang berkepanjangan dan risiko resesi global.
Melansir dari Reuters, produk domestik bruto (PDB) China meningkat 3,9 persen pada periode Juli sampai September, menurut data resmi Pemerintah China yang diterbitkan hari ini, Senin (24/10/2022).
Angka PDB China di kuartal ketiga berhasil melampaui perkiraan 3,4 persen dalam jajak pendapat Reuters dan pertumbuhan 0,4 persen di kuartal kedua tahun ini.
Para pembuat kebijakan China meluncurkan lebih dari 50 langkah-langkah dukungan ekonomi sejak akhir Mei, bahkan telah mengecilkan pentingnya mencapai target pertumbuhan, yang ditetapkan pada Maret.
Namun menjelang akhir kuartal, permintaan domestik kembali berkurang karena gejolak kasus virus corona menyebabkan penguncian atau lockdown dan pembatasan.
Sementara pertumbuhan ekspor melambat dan sektor properti utama semakin mendingin, menunjukkan jalan yang sulit menuju pemulihan.
China tampaknya akan melanjutkan kebijakan ketat Covid-19 yang didukung oleh Partai Komunis, yang menyelesaikan perombakan kepemimpinan puncaknya pada hari Minggu (23/10/2022) dengan Xi Jinping mengamankan masa jabatan ketiganya sebagai pemimpin.
Baca juga: PDB Indonesia Diprediksi Tembus 3 Triliun USD di 2045
"Tidak ada prospek China mencabut kebijakan nol-COVID dalam waktu dekat, dan kami tidak mengharapkan relaksasi yang berarti sebelum 2024," kata ekonom senior China di Capital Economics, Julian Evans-Pritchard.
“Oleh karena itu, gangguan virus yang berulang akan terus membebani aktivitas langsung dan penguncian skala besar lebih lanjut tidak dapat dikesampingkan,” tambah Evans-Pritchard.
Susunan baru dalam kepemimpinan tertinggi China telah meningkatkan kekhawatiran di kalangan investor bahwa Presiden Xi Jinping akan membuat kebijakan yang didorong oleh ideologi dengan mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: PDB Kuartal II Menyusut, Ekonomi AS Terkonfirmasi Masuk Jurang Resesi
Yuan China jatuh ke level terlemah dalam 15 tahun terakhir di tengah kekhawatiran atas kondisi ekonomi China.
Konsumsi akhir menyumbang 2,1 poin presentase dari pertumbuhan PDB 3,9 persen, sementara pembentukan modal, atau investasi, dan ekspor bersih masing-masing menyumbang 0,9 dan 1,1 poin presentase.
Pertumbuhan ekonomi juga didukung oleh manufaktur, dengan data terpisah menunjukkan output industri pada September naik 6,3 persen dari tahun sebelumnya, mengalahkan ekspektasi untuk kenaikan 4,5 persen dan kenaikan pada Agustus sebesar 4,2 persen.
Baca juga: Ekonomi Ukraina Hancur, PDB Merosot 37 Persen di Kuartal Kedua 2022
Sementara ekspor di September tumbuh 5,7 persen, mengalahkan ekspektasi namun masuk ke laju paling lambat sejak April.
Penjualan ritel tumbuh 2,5 persen, meleset dari perkiraan untuk kenaikan 3,3 persen dan menurun dari kenaikan 5,4 persen pada Agustus, menggarisbawahi masih rapuhnya permintaan ritel domestik.
Secara khusus, penjualan katering turun 1,7 persen pada September, lebih rendah dari data Agustus yaitu 8,4 persen, akibat tindakan Covid-19 yang lebih ketat.
Tingkat pengangguran di perkotaan China pada September naik menjadi 5,5 persen, menjadi angka tertinggi sejak Juni, dengan tingkat pengangguran untuk pencari kerja antara usia 16 dan 24 tahun sebesar 17,9 persen.
Harga rumah baru juga menurun di September, menunjukkan pelemahan berkelanjutan dari permintaan rumah di tengah upaya pengembang mencari dana pinjaman untuk berlomba mengumpulkan sumber daya dan menyelesaikan proyek tepat waktu.
Baca juga: Goldman Sachs Pangkas Proyeksi PDB Amerika Serikat untuk Tahun 2023
Kumpulan data ini menggarisbawahi tindakan Covid-19 menjadi lebih fleksibel karena tergantung pada jumlah kasus, namun penguncian masih menjadi ketidakpastian besar bagi perekonomian "dengan latar belakang krisis real estate", kata Iris Pang, kepala ekonom China di ING.
Selain risiko domestik, ekonomi China akan tertekan secara eksternal oleh krisis Ukraina dan perlambatan ekonomi global akibat kenaikan suku bunga untuk menahan inflasi yang panas.