Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, SHANGHAI - Pihak berwenang Kota Shanghai memasang pagar penghalang di sekitar area pusat kota hari ini, Senin (28/11/2022).
Area pusat kota Shanghai menjadi tempat ratusan orang melakukan protes terhadap kebijakan ketat COVID-19 selama akhir pekan kemarin, salah satu dari beberapa demonstrasi yang berkobar di seluruh negara itu.
Melansir dari Channel News Asia, dari jalan-jalan di Shanghai dan Beijing hingga kampus-kampus, pengunjuk rasa menunjukkan tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak pemimpin Xi Jinping mengambil alih kekuasaan pada satu dekade lalu.
"Kami berharap untuk mengakhiri penguncian," kata seorang warga China, Shi yang berusia 28 tahun di acara nyala lilin di Beijing pada Minggu (27/11/2022) malam.
"Kami ingin hidup normal. Kita semua harus dengan berani mengungkapkan perasaan kita," tambahnya.
Tidak ada tanda-tanda protes baru pada hari ini di Beijing atau Shanghai. Biro Keamanan Umum China tidak segera menanggapi permintaan komentar mengenai hal ini.
Reaksi terhadap pembatasan COVID-19 merupakan kemunduran bagi upaya pemerintah China untuk memberantas virus, yang menginfeksi banyak orang selama tiga tahun terakhir setelah muncul di kota Wuhan.
Baca juga: Aksi Protes Lockdown di China Picu Kemerosotan Harga Minyak Mentah 2 Dolar Per Barel
Kebijakan nol-COVID telah menekan jumlah kematian resmi akibat virus ini di China menjadi ribuan nyawa, dibandingkan dengan lebih dari satu juta kematian di Amerika Serikat.
Tetapi hal itu harus dibayar dengan membatasi pergerakan jutaan orang tetap berada di rumah untuk waktu yang lama dan gangguan serta kerusakan yang luas pada perekonomian negara itu.
Meninggalkan kebijakan nol-COVID berarti membatalkan kebijakan yang diperjuangkan oleh Xi Jinping.
Itu juga akan berisiko membebani sistem kesehatan dan menyebabkan virus meluas di negara itu yang memiliki ratusan juta lansia dan tingkat kekebalan yang rendah terhadap COVID-19, kata para ahli.
Baca juga: Pabrik Foxconn Terganggu Lockdown China, Warga AS Sulit Dapatkan iPhone Terbaru di Black Friday
Protes di China telah mengguncang pasar global pada perdagangan hari ini, mengirim harga minyak lebih rendah dan dolar AS lebih tinggi, dengan saham China dan yuan turun tajam.
Media pemerintah China tidak menyebutkan protes tersebut, sebaliknya mendesak warga dalam editorialnya untuk tetap berpegang pada aturan COVID-19.
Banyak analis mengatakan China tidak mungkin dibuka kembali sebelum Maret atau April, dan membutuhkan kampanye vaksinasi yang efektif sebelum melakukan hal tersebut.
"Demonstrasi tidak mengancam tatanan politik yang ada, tetapi itu berarti campuran kebijakan COVID saat ini tidak lagi berkelanjutan secara politik. Pertanyaannya sekarang adalah seperti apa pembukaan kembali itu. Jawabannya adalah: lambat, bertahap, dan berantakan," tulis analis di Gavekal Dragonomics dalam sebuah laporan.
Baca juga: China Lockdown Kota Zhengzhou Pasca Rusuh di Pabrik iPhone
Pada Minggu malam, di pusat daerah Shanghai, di mana 25 juta orangnya terjebak di rumah mereka pada April dan Mei, pengunjuk rasa bentrok dengan pihak polisi.
BBC mengatakan polisi menyerang dan menahan salah satu jurnalisnya yang meliput peristiwa tersebut sebelum melepaskannya setelah beberapa jam. Seorang wartawan Reuters juga ditahan selama sekitar 90 menit pada Minggu malam, sebelum akhirnya dibebaskan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan reporter BBC tidak mengidentifikasi dirinya sebagai jurnalis, sementara pemerintah Kota Shanghai tidak berkomentar.
Pada hari ini, jalan-jalan di Shanghai yang menjadi tempat pengunjuk rasa berkumpul diblokir dengan penghalang logam biru untuk mencegah massa berkumpul. Polisi berpatroli berpasangan, sementara mobil dan sepeda motor polisi terlihat beberapa kali melintas.
Toko-toko dan kafe-kafe di daerah itu diminta tutup, kata seorang anggota staf di salah satu toko kepada Reuters.
Sementara kebijakan COVID-19 China tetap menjadi sumber utama ketidakpastian bagi investor, perkembangan sekarang juga diawasi untuk setiap tanda ketidakstabilan politik, sesuatu yang tidak dipertimbangkan oleh banyak investor di China, di mana Xi baru-baru ini mendapatkan masa kepemimpinan untuk ketiga kalinya.
Wakil Presiden di lembaga pemeringkat kredit Moody's Investors, Martin Petch, memperkirakan protes "akan mereda dengan relatif cepat dan tanpa mengakibatkan kekerasan politik yang serius".
"Namun, mereka berpotensi menjadi kredit negatif jika dipertahankan dan menghasilkan tanggapan yang lebih kuat dari pihak berwenang," ujarnya.
Penyebab Meluasnya Protes: Kebakaran di Urumqi
Pemicu protes adalah kebakaran apartemen pada pekan lalu di kota barat China, Urumqi, yang menewaskan 10 orang.
Banyak yang berspekulasi, pembatasan COVID-19 di kota itu, yang sebagian telah menjalani lockdown selama 100 hari, telah menghalangi penyelamatan dan pelarian penghuni apartemen, yang dibantah oleh pejabat kota.
Massa di Urumqi turun ke jalan pada Jumat (25/11/2022). Selama akhir pekan, pengunjuk rasa di kota-kota lain termasuk Wuhan dan Lanzhou membatalkan pengujian atau tes COVID-19, sementara mahasiswa berkumpul di kampus-kampus di seluruh China.
Di Beijing, sekelompok besar orang berkumpul lewat tengah malam pada Minggu di jalan lingkar kota. Beberapa dari mereka memegang kertas kosong, yang menjadi simbol protes. Beberapa pengemudi membunyikan klakson dan mengacungkan jempol.
Hari Minggu di Shanghai, pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan anti Presiden China Xi Jinping, sebuah tindakan yang hampir tidak pernah terdengar di negara itu.
Sementara kemarahan dengan aturan COVID-19 membara, beberapa lainnya menentang orang-orang untuk turun ke jalan.
"Aksi ini akan mengganggu ketertiban umum," kata warga China bernama Adam Yan, 26 tahun.
"Situasi COVID cukup rumit. Yang terbaik adalah percaya pada pemerintah dan masing-masing melakukan yang terbaik," ungkapnya.