News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

OECD Prediksi Eropa Jadi Wilayah yang Paling Terpukul Perlambatan Ekonomi Global

Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

OECD memperkirakan perekonomian Jerman akan mengalami kontraksi 0,3 persen tahun depan karena sektor industrinya yang sangat bergantung pada impor energi dari Rusia.

Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni

 
TRIBUNNEWS.COM, PARIS - Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengatakan ekonomi global diharapkan dapat menghindari resesi di tahun depan, namun krisis energi terburuk sejak 1970-an dapat mengakibatkan perlambatan tajam.

OECD yang berbasis di Paris, Prancis, memperkirakan Eropa akan menjadi wilayah yang paling terpukul keras dari perlambatan ekonomi global. OECD menambahkan, memerangi inflasi harus menjadi prioritas utama pembuat kebijakan moneter.

Prospek pertumbuhan ekonomi tiap negara sangat bervariasi, namun ekonomi Inggris diprediksi akan tertinggal dari rekan-rekan utamanya, kata Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan.

Diperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3,1 persen tahun ini menjadi 2,2 persen di tahun depan, sebelum meningkat menjadi 2,7 persen pada 2024.
"Kami tidak memprediksi resesi, tapi kami pasti memproyeksikan periode pelemahan yang nyata," kata kepala OECD Mathias Cormann, yang dikutip Reuters.

OECD mengatakan perlambatan global memukul ekonomi secara tidak merata, dengan Eropa menanggung beban terberat karena perang Rusia di Ukraina yang telah menghantam aktivitas bisnis dan mendorong lonjakan harga energi.

Perekonomian di 19 negara zona Euro diprediksi tumbuh 3,3 persen tahun ini, namun melambat menjadi 0,5 persen pada 2023 sebelum pulih dan berkembang sebesar 1,4 persen pada 2024.

Baca juga: Inflasi Zona Euro Melonjak ke Rekor Baru, Mencapai 10,7 Persen

Perkiraan itu sedikit lebih baik daripada prospek OECD pada September, ketika diperkirakan pertumbuhan ekonomi  Eropa mencapai 3,1 persen di tahun ini dan 0,3 persen pada tahun depan.

OECD memperkirakan perekonomian Jerman akan mengalami kontraksi 0,3 persen tahun depan karena sektor industrinya yang sangat bergantung pada impor energi dari Rusia.

Angka ini lebih rendah dari penurunan 0,7 persen yang diperkirakan pada September.

Sementara ekonomi Prancis, yang tidak terlalu bergantung pada gas dan minyak Rusia, diperkirakan akan tumbuh 0,6 persen pada tahun depan. Italia terlihat mengalami pertumbuhan 0,2 persen, yang berarti beberapa kontraksi triwulanan kemungkinan terjadi.

Baca juga: Konsumen Zona Euro Bersiap Menghadapi Resesi dan Inflasi Tinggi

Di luar zona euro, ekonomi Inggris terlihat menyusut 0,4 persen tahun depan karena harus menghadapi kenaikan suku bunga dan inflasi yang melonjak. Sebelumnya, OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi Inggris sebesar 0,2 persen.

Perekonomian AS diprediksi akan bertahan lebih baik, dengan pertumbuhan diperkirakan melambat dari 1,8 persen tahun ini menjadi 0,5 persen pada 2023 sebelum naik menjadi 1,0 persen pada 2024. OECD sebelumnya memperkirakan pertumbuhan hanya 1,5 persen tahun ini di ekonomi terbesar dunia, dan perkiraannya untuk 2023 tidak berubah.

China, yang bukan anggota OECD, adalah salah satu dari sedikit ekonomi besar yang diperkirakan akan melihat pertumbuhan meningkat tahun depan, setelah gelombang penguncian COVID-19.

Pertumbuhan di Negeri Tirai Bambu terlihat meningkat dari 3,3 persen tahun ini menjadi 4,6 persen pada 2023 dan 4,1 persen pada 2024, dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya sebesar 3,2 persen pada 2022 dan 4,7 persen pada 2023.

Ketika kebijakan moneter yang lebih ketat berlaku dan tekanan harga energi mereda, inflasi di seluruh negara OECD terlihat turun dari lebih dari 9 persen tahun ini menjadi 5,1 persen pada 2024.

"Pada kebijakan moneter, pengetatan lebih lanjut diperlukan di sebagian besar ekonomi maju dan di banyak ekonomi pasar berkembang untuk memperkuat ekspektasi inflasi," kata Cormann.

Sementara banyak pemerintah telah menghabiskan banyak uang untuk menekan inflasi yang tinggi dengan pembatasan harga energi serta pemotongan pajak dan subsidi, OECD mengatakan tingginya biaya berarti dukungan tersebut harus ditargetkan dengan lebih baik ke depan.

Saat ini, OECD terdiri dari 38 negara anggota, yaitu Australia, Austria, Belgia, Kanada, Chili, Kolombia, Kosta Rika, Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Korea Selatan, Latvia, Lithuania, Luxemburg, Meksiko, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Britania Raya, dan Amerika Serikat. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini