TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengaku bingung dengan perilaku negara Eropa.
Mereka dianggap tidak ingin industri di Indonesia maju.
Padahal, saat ini pemerintah Indonesia fokus pada industri hilirisasi dengan pendekatan energi hijau dan industri hijau.
Baca juga: Pacu Pertumbuhan Ekonomi, Anwar Ibrahim Siap Contoh Hilirisasi Industri dan Digitalisasi Indonesia
"Saya jujur mengatakan, saya bingung dengan cara berpikir dari sebagian negara-negara maju.
Ketika Indonesia memperjuangkan untuk hilirisasi memberikan nilai tambah dan kolaborasi dengan pengusaha-pengusaha lokal, sebagian negara-negara tersebut tidak mau.
Sementara mereka tahu bahwa sebuah negara berkembang menuju negara maju, salah satu instrumennya adalah melakukan hilirisasi," ungkapnya dalam siaran pers Kementerian Investasi, dikutip Selasa (10/1/2023).
Bahlil menyatakan hal tersebut saat menerima kunjungan 50 mahasiswa pascasarjana Universitas Harvard, Amerika Serikat di Kantor Kementerian Investasi/BKPM, Jakarta, Senin (9/1/2023) sore.
Bahlil menjelaskan, Pemerintah Indonesia menghadapi gugatan dari Uni Eropa melalui Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO terkait dengan kebijakan pemberhentian ekspor nikel yang dilakukan pada 2019 lalu.
Dia pun memberikan contoh kebijakan yang lebih dulu dilakukan oleh negara-negara maju seperti Inggris, China, dan Amerika dalam melakukan hilirisasi dalam rangka menjaga kedaulatan industri di negaranya masing-masing.
"Inggris di abad ke-16 ketika mereka memberhentikan ekspor wol sebagai bahan baku tekstil. Amerika di abad ke-19 dan 20 begitu juga.
Baca juga: Industri Pertambangan Terapkan Teknologi Peleburan Terbaru Dorong Hilirisasi Bahan Tambang
Mereka menggunakan pajak progresif untuk impor dalam rangka menjaga kedaulatan industrinya lebih bagus.
China di tahun 80-an itu aturan TKDN-nya 80 persen dan industrinya bagus sekarang," ujarnya.
Menurutnya, saat ini sudah saatnya bagi negara maju maupun negara berkembang membangun kolaborasi dan kerja sama yang baik dalam rangka membangun ekonomi dunia yang lebih adil dan merata, dengan memperhatikan pada energi hijau dan industri hijau.
Bahlil optimis Indonesia akan menjadi negara hilirisasi di kawasan Asia Tenggara yang fokus pada pengelolaan sumber daya alam.
Baca juga: Indonesia Larang Ekspor Bahan Mentah Bauksit, Hilirisasi Jadi Landas Pacu Ekonomi Skala Besar
Kalah di Sidang WTO
Sebelumnya Indonesia kalah dalam sengketa ekspor bijih Nikel di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Meskipun kalah, kata Bahlil, banyak strategi yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjaga hilirisasi industri nikel.
“Saya tidak bisa menjelaskan detailnya kan itu strategi pemerintah, banyak jalan menuju Roma mereka punya 1000 akal kita punya 2.000 akal. Indonesia ini orangnya udah pinter-pinter nggak bisa lagi dimainin, dan nyali kita nggak kecil kok,” kata Bahlil dalam sebuah kesematan di Jakarta.
Salah satu strategi yang mungkin diterapkan menurut Bahlil yakni menaikkan pajak ekspor Bijih Nikel.
“Mungkin salah satu diantaranya pajak ekspor, instrumen kan, ini kan main di instrumen, kalau salah satu diantaranya pajak ekspor kita mungkin kita naikkan, dan itu kewenangan kita dong,” kata Bahlil.
Baca juga: Menperin Agus Gumiwang Ungkap Empat Tantangan Sektor Manufaktur dalam Hilirisasi Industri
Sebetulnya kata Bahlil, ada cara lain lagi untuk menghentikan ekspor bijih nikel. Hanya saja ia belum mau mengungkapkannya.
“Ada juga cara lain tapi saya tidak mau menjelaskan dulu, cara lain itu apa. Karena kalau saya sudah buka nanti lawan tahu. itu tidak lagi menjadi peluru untuk kita bisa meng-counter mereka,” katanya.
Sebelumnya Indonesia digugat oleh Uni Eropa ke WTO karena melarang ekspor bijih Nikel. Larangan ekspor yang dilakukan per 1 Januari 2020 mendapat protes dari Uni Eropa karena mengganggu produksi industri stainless steel mereka.
WTO kemudian memenangkan gugatan Uni Eropa. Larangan ekspor bijih Nikel dinilai melanggar ketentuan WTO. Pemerintah kemudian mengajukan banding atas putusan tersebut.
Sementara Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan kembali melarang ekspor komoditas bahan mentah lainnya, usai melarang nikel.
"Hari ini akan kita tambah lagi, kalau kemarin setop nikel hari ini akan kita umumkan lagi satu komoditas yang kita miliki, setelah dari sini saya akan umumkan lagi, setop," kata Jokowi dalam Outlook Perekonomian Indonesia 2023, yang dikutip dari Kontan.
Jokowi tidak memberikan ciri-ciri komoditas apa yang akan dilarang dan segera distop ekspornya oleh pemerintah hari ini.
Akan tetapi, sebelumnya Jokowi sempat memunculkan sinyal adanya pelarangan ekspor bauksit.
Jokowi menegaskan bahwa Indonesia tak bisa terus-terusan membiarkan adanya ekspor bahan mentah. Bahkan tahun depan, pemerintah akan kembali melakukan larangan ekspor bahan mentah komoditas.
"Tahun depan ada lagi entah satu, entah dua, setop lagi. Karena jelas US$ 1,1 miliar kemudian melompat menjadi lebih dari US$ 30 miliar. Dari Rp 18 triliun melompat menjadi Rp 460 triliun," imbuhnya.
Jokowi tegas mengatakan bahwa pemerintah tak gentar dengan adanya gugatan ke WTO pasca pelarangan ekspor.
Pasalnya nilai tambah dari komoditas tidak dirasakan oleh Indonesia jika hanya melakukan ekspor bahan mentah.
"Kalau kita teruskan rugi besar kita meskipun kita digugat, nggak papa, nikel digugat, ini yang kita umumkan lagi digugat lagi nggak papa, suruh gugati terus. Yang kedua digugat, belum rampung, ketiga kita setop lagi gugat lagi nggak papa," tegasnya. (Kompas.com/Kontan.co.id/Tribunnews.com)