TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia diperkirakan akan mengalami defisit neraca transaksi berjalan pada tahun 2023 ini, salah satunya karena penurunan harga komoditas yang berpotensi menggerus ekspor.
Kondisi ini berbalik dengan yang terjadi pada tahun 2022 di mana neraca transaksi berjalan Indonesia berpeluang surplus 1 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Kepala Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Putera Rinaldy memperkirakan, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) 2023 sekitar 0,7 persen dari PDB.
Meski berbalik defisit, tetapi CAD masih lebih rendah bila dibandingkan tren CAD pada pra pandemi Covid-19.
"Walaupun transaksi berjalan berbalik defisit, ini lebih rendah dari rata-rata CAD sebelum pandemi yang sebesar 2,5 persen PDB," ujar Leo saat pertemuan dengan media, Selasa (10/1/2023).
Leo membeberkan alasan terjadinya CAD pada tahun 2023.
Pertama, penurunan harga komoditas sekitar 20% hingga 30%, yang kemudian menggerus pertumbuhan ekspor.
Harga batubara diperkirakan turun 21,0 persen. Padahal, batubara memegang kontribusi sekitar 40% terhadap kinerja ekspor Indonesia hingga kuartal III-2022.
Baca juga: Defisit APBN 2022 Diproyeksikan Rp 464 Triliun Per Desember
Kabar baiknya, ekspor yang bersifat struktural diperkirakan berlanjut pada tahun 2023, seperti besi dan baja. Ini akan menambah kekuatan kinerja ekspor di tahun 2023.
Kedua, nilai impor tidak akan meningkat signifikan. Ini seiring dengan kinerja investasi yang akan melambat di tahun 2023, sehingga impor barang modal akan menurun di tahun 2023.
Ini yang akan mendorong defisit transaksi berjalan di tahun 2023 akan tetap terjaga.
Laporan Reporter: Bidara Pink | Sumber: Kontan