Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Para ekonom di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mengungkapkan pandangan ‘suram’ tentang perekonomian global tahun ini.
Menurut ekonom PBB, pertumbuhan ekonomi global akan melambat tahun ini, yang didorong oleh berbagai faktor, seperti tingginya inflasi dan ketidakpastian global.
“Pandemi Covid-19, perang di Ukraina, lonjakan inflasi dan darurat iklim, di antara krisis lainnya, menghambat prospek pertumbuhan jangka pendek dan mengancam hingga merusak pembangunan berkelanjutan jangka panjang di negara-negara miskin,” kata ekonom itu dalam sebuah laporan.
Laporan itu sekaligus memproyeksikan pertumbuhan output dunia turun dari sekitar 3 persen pada 2022 menjadi 1,9 persen pada 2023.
Ekonom senior di Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB, Ingo Pitterle, mengatakan bahwa konsumsi swasta dan investasi diperkirakan akan melemah di sebagian besar negara karena penurunan pendapatan dan suku bunga yang lebih tinggi.
Dia mencatat beberapa negara akan mengalami resesi ringan sebelum pertumbuhan diperkirakan meningkat pada pertengahan tahun ini hingga 2024.
“Lintasan ekonomi tahun ini dan tahun depan akan secara signifikan didorong oleh tren inflasi serta respons kebijakan moneter dan fiskal yang ditetapkan,” kata Pitterle, mengutip VoA News, Kamis (26/1/2023).
“Kabar baiknya, harga energi, pangan, dan pupuk sudah turun jauh dari puncaknya pada pertengahan tahun lalu. Namun, kerawanan pangan tetap menjadi tantangan global yang sangat besar. Jumlah orang yang menghadapi kerawanan pangan meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 2019,” imbuhnya.
Baca juga: Peneliti CIPS: Indonesia Bakal Terhindar Resesi Ekonomi Global
Pitterle juga memperkirakan sebagian besar negara berkembang di dunia akan mengalami pertumbuhan yang lebih lambat tahun ini. Namun, perlambatan ini tidak berlaku untuk negara di kawasan Asia Timur yang sebagian besar disebabkan oleh rebound di China.
"Prospek pertumbuhan kami untuk Afrika relatif moderat," ujar Pitterle.
“Namun, ketika kita mempertimbangkan pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi, pertumbuhan tahunan 4 persen tidak cukup untuk mengatasi tantangan pembangunan besar-besaran di kawasan ini,” imbuhnya.
Baca juga: Indonesia Waspadai Dampak Resesi yang Bakal Menimpa AS Maret Ini
Terakhir, dia juga mendorong pemerintah untuk menghindari langkah-langkah penghematan fiskal untuk keluar dari kelesuan ekonomi mereka. Menurutnya, hal ini akan menghambat pertumbuhan dan secara tidak proporsional memengaruhi kelompok yang paling rentan, menghambat kemajuan dalam kesetaraan gender, dan menghalangi prospek pembangunan.