Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM - Kasus penipuan yang menyeret Adani Group, perusahaan milik orang terkaya di India yaitu Gautam Adani, tiba-toba ramai diperbincangkan.
Presiden Joko Widodo bahkan memperingatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar meningkatkan pengawasan terhadap industri jasa keuangan di Tanah Air, agar kasus seperti Adani Group tidak terjadi di Indonesia.
Ekonom senior Rhenald Kasali mengatakan kekayaan Gautam Adani merosot tajam hingga 110 miliar dolar AS, atau sekitar Rp 1.600 triliun sampai Rp 1.800 triliun, setelah perusahaan investasi riset Hindenburg Research merilis laporan yang menuduh kerajaan bisnis Adani melakukan "penipuan terbesar dalam sejarah perusahaan".
Baca juga: Skandal Besar Adani Group Lenyapkan 50 Persen Harta Orang Terkaya di Asia, Begini Kronologinya
Rhenald menyebut angka tersebut sangat besar dan bahkan sampai merugikan India.
Namun, ada beberapa hal yang dapat dijadikan pelajaran dari kasus Adani Group ini, tambah Kasali. Pertama, krisis ekonomi dapat memunculkan orang-orang yang tadinya dianggap sebagai filantropi dan pengusaha sukses, namun ternyata malah melakukan penipuan.
"Dalam setiap peristiwa krisis ekonomi muncul orang-orang yang tadinya kita duga seorang filantropis seorang pengusaha sukses tiba-tiba dia muncul sebagai orang yang melakukan kejahatan," ungkap Rhenald, yang dikutip dari video di channel Youtube-nya berjudul "Cara Cepat Jadi orang Kaya Ala Gautam Adani".
Kedua, kata Kasali, setiap krisis ekonomi melahirkan orang atau tokoh yang akan dikenal sepanjang sejarah. Salah satunya adalah Bernie Madoff, pelaku penipuan dengan menggunakan skema Ponzi di Amerika Serikat pada saat krisis 2008.
Ternyata, Madoff belajar dari Charles Ponzi yang melakukan hal serupa sekitar 80 hingga 90 tahun yang lalu, ketika AS mengalami krisis yang disebut "The Great Depression".
Madoff of India 'Gautam Adani'
Kemudian saat ini muncul Madoff of India yaitu Gautam Adani, yang terungkap ketika dunia tengah menghadapi krisis ekonomi global.
Pemerintah India tampaknya dibuat kelimpungan karena saham Adani Group jatuh setelah rilisnya laporan Hindenburg Research.
Hindenburg Research melaporkan, saham yang dibangun oleh Adani Group bergerak sangat cepat pada periode 2020 hingga 2022, ketika dunia dilanda pandemi COVID-19.
"India begitu parah situasinya, tapi market cap dari Adani Enterprise tumbuh sangat mengesankan. Bayangkan, kekayaannya Adani Corporation pada 2020 baru sekitar 10,07 miliar dolar AS. Dia belum disebut sebagai orang terkaya di dunia," ujar Rhenald.
Baca juga: Geser Mukesh Ambani, Gautam Adani Jadi Orang Terkaya Asia Tahun 2022, Ini Sumber Kekayaannya
"Tiba-tiba di awal 2023, dunia membaca berita jika Gautam Adani adalah orang terkaya di dunia," imbuhnya.
Gautam Adani adalah taipan India berusia 60 tahun yang mendirikan Adani Group lebih dari 30 tahun yang lalu. Setelah putus sekolah, dia membangun kerajaan bisnisnya yang mencakup infrastruktur, logistik, produksi energi, dan pertambangan.
Kesuksesan Adani membuatnya disejajarkan dengan John D. Rockefeller dan Cornelius Vanderbilt, yang menciptakan monopoli besar-besaran selama Zaman Emas Amerika pada 1800-an.
Adani juga menjadi orang terkaya di Asia, dan pada September lalu secara singkat melampaui Jeff Bezos untuk menjadi orang terkaya kedua di dunia. Dia juga disebut sebagai sekutu dekat perdana menteri India, Narendra Modi.
Laporan Hindenburg Research
Namun, pertumbuhan Adani Group yang luar biasa tidak diikuti perusahaan lainnya, yang tumbuh biasa-biasa saja.
"Adani Group mengalami pertumbuhannya yang rationya sampai 800 kali, sementara dalam keadaan normal (perusahaan) yang lain sekitar 10 sampai 20 kali saja. Bukankah ini telah menimbulkan kegairahan yang luar biasa di tengah orang susah cari uang, dengan main saham di rumah bisa cepat kaya. Tapi ternyata ini dilakukan dengan fraud," kata Rhenald.
Hingga akhirnya Hindenburg menaruh kecurigaan, karena perusahaan andalan konglomerat ini, Adani Enterprise, berjanji mengeluarkan saham baru dengan nilai mencapai 20 miliar dolar AS yang dilakukan pada 24 sampai 31 Januari 2023.
Usai Hindenburg merilis laporannya, saham Adani anjlok dari sekitar 10 miliar dolar AS hingga 110 miliar dolar AS.
Hal itu berakibat kekayaan Adani merosot cukup jauh, totalnya sekitar 53,4 persen yang juga menimbulkan bencana bagi pemerintah India, sebut Rhenald.
Baca juga: Kekayaannya Kalahkan Jeff Bezos dan Elon Musk, Siapa Miliarder India Gautam Adani?
Modus Penipuan
Rhenald mengungkapkan, fraud atau penipuan Adani Group dilakukan dengan memberikan informasi yang tidak benar kepada investor, di mana kinerja keuangannya digoreng sedemikian rupa.
"Ternyata tumbuhnya tidak sesuai dengan laporan keuangannya yang dibuka lebih jauh, ternyata Net Debt dibandingkan EBITDA-nya itu dikatakan angkanya sangat tinggi antara 2 sampai 16 kali. Sedangkan rata-rata industri itu hanya 1,3 sampai 6 kali. Kok bisa mereka memiliki kemampuan ketika bisnisnya hanya energi, bandara, dan pelabuhan," ujarnya.
Apalagi saat dunia dihantam pandemi COVID-19, bisnis bandara mengalami masa sulit dan pelabuhan kesulitan mengirim barang karena adanya lockdown saat itu.
"Kemudian dilihat lagi bisnis-bisnis yang terlihat maju ini, sebetulnya bergerak lambat tapi angkanya sangat menarik," sebut Rhenald.
"Ternyata sebagian perusahaan ini mengalami resiko itu karena current ratio-nya di bawah satu. Resiko besar dan profitnya tidak begitu kuat, dan ternyata di dalamnya terjadi pinjaman dalam perusahaan dengan nilai yang sangat besar. Jadi mereka mendapat dana dari publik tapi mereka menggunakan uang itu sendiri," sambungnya.
Para peneliti di Hindenburg juga membocorkan rahasia bahwa pemerintah India sedang menginvestigasi perusahaan, karena masalah penggelapan pajak, fraud atau penipuan yang dilakukan anggota keluarga Adani yang memimpin perusahaan.
Muncul nama-nama anggota dan kerabat Adani Family yang sebelumnya asing di telinga publik, seperti Rajesh Adani, Vinod Adani, Samir Vora yang ternyata terlibat sejumlah penipuan.
Para peneliti melakukan konfirmasi dengan mengirim 88 pertanyaan, dan mereka mengakui hanya sekitar 50 persen yang dijawab pihak Adani Group.
Pertanyaan yang dijawab juga lebih banyak terkait isu-isu tentang nasionalisme dan bukan menyangkut soal fraud atau penipuan yang mereka lakukan.
"Apa sih isu nasionalisme yang mereka persoalkan, yang pertama Adani turut membantu pertumbuhan ekonomi India, kedua mereka juga mengklaim Barat tidak senang karena tiba-tiba menyaksikan ada orang terkaya nomor tiga itu dari Asia,dari India, jadi mereka (Barat) mungkin tidak dapat menerima," ungkap Rhenald.
Yang menarik, ketika Adani Group menggoreng sahamnya terlibat juga nama adik mantan perdana menteri Inggris Boris Johnson yaitu Jo Johnson yang menjadi pimpinan di Elara Capital.
Jo Johnson adalah pihak yang mendorong investor kakap global, termasuk BlackRock, untuk berinvestasi di perusahaan Adani Group melalui pembelian saham perusahaan tersebut di pasar modal India.
Jadi cukup banyak investor internasional, dan mereka inilah yang menarik sahamnya dari India yang berakibat goncangan pasar modal India, sebut Rhenald.
"Setelah isu ini mencuat Jo Johnson memilih untuk mengundurkan diri. Simple saja bukan? mereka cuci tangan dengan cara yang demikian," ujarnya.
*Isu Geopolitik*
Selain itu, muncul spekulasi yang menyebut adanya masalah geopolitik yang berada di balik kasus Adani group.
"Kita ketahui selama ini NATO sedang mencari kawan di Asia Selatan, setelah di Asia Timur mendapat Jepang dan Korea Selatan untuk menghadapi isu Taiwan kalau sewaktu-waktu Tiongkok menyerang, maka sekaranglah dibangun kekuatan di Asia Selatan," ungkap Rhenald.
"Pertanyaannya adalah siapa yang bisa membantu untuk menahan Tiongkok, jawabannya adalah India, maka tidak diherankan kedua bangsa ini sering terlibat konflik. Geopolitik memang berat sekali," tambahnya.
Persaingan India dan China juga turut disebut berada di balik kasus ini. Apalagi di abad 21, kedua negara ini terlibat "perang air".
Air menjadi satu persoalan yang pelik antara Tiongkok dan India, karena sumber air yang mengalir di sungai-sungai India berasal dari pegunungan Himalaya yang berada di sisi daratan China khususnya di sekitar Tibet.
Pemerintah Tiongkok melakukan upaya-upaya dengan membangun tidak hanya satu tapi 40 Dam, yang mereka gunakan tidak hanya untuk mendapatkan listrik tapi juga air, kata Rhenald.
"Langkah itu berakibat ketika musim kemarau pemerintah Tiongkok menahan air di dam tersebut, kemudian masyarakat di sekitar Sungai Brahma Putra India tidak mendapat air, mereka mengalami kekeringan, kesulitan, dan sebagainya," sebutnya.
Lalu, saat musim hujan tentu saja pemerintah Tiongkok memilih melepaskan air itu dan terjadilah banjir di India.
China juga mencari kekuatan di negara-negara Asia Selatan lainnya. Negeri Tirai Bambu menjalin hubungan baik dengan Pakistan dan sejumlah negara-negara di Timur Tengah sampai ke Sri Lanka.
Sehingga India membangun hubungan dengan Bangladesh, dan Adani Group menjual listrik ke negara yang memiliki ibu kota Dhaka itu.
Mengetahui Adani sedang menghadapi masalah dan harga listriknya terlalu mahal, pemerintah Bangladesh meminta untuk menegosiasi ulang, dan hal ini situasinya tidak mudah, ujar Rhenald.
Melihat kasus yang menimpa Adani Group, Rhenald mengimbau kepada perusahaan di tanah air untuk mengelola perusahaan secara baik dan transparan.
Saat perusahaan mengalami pertumbuhan dan menjadi perusahaan publik dengan menjual sahamnya ke masyarakat, maka kepercayaan publik harus dijaga.
"Kita harus menjaga kepercayaan itu dengan sistem dengan akunting yang benar dengan menjaga secara berhati-hati, maka uang itu dapat kita pertanggungjawabkan," pungkasnya.