TRIBUNNEWS.COM - Indonesia telah sukses menjamu para pemimpin negara-negara Asia Tenggara dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN atau ASEAN Summit ke-42 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur pada bulan Mei 2023. Namun, tak hanya berhenti di situ, keketuaan Indonesia di ASEAN tahun ini melapangkan jalan untuk digitalisasi sistem pembayaran dan penggunaan mata uang lokal di wilayah Asia Tenggara.
Dengan skala ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia adalah satu-satunya anggota G20 di kawasan. Kekuatan ini memampukan Indonesia untuk menjadi salah satu negara yang melaksanakan digitalisasi paling cepat di dunia.
Pandemi Covid-19 telah mendorong pergeseran hebat dalam perilaku konsumen sehingga memicu kebiasaan belanja dalam jaringan (daring) dan pembayaran berbasis digital secara masif di Indonesia. Kondisi tersebut menciptakan lingkungan yang cocok untuk berjamurnya unicorn lokal berbasis teknologi di Indonesia.
Pada Januari 2020, tepat sebelum virus Corona melumpuhkan hampir semua sendi kehidupan di dunia, Bank Indonesia mewajibkan seluruh perusahaan jasa pembayaran untuk menyesuaikan sistem Quick Response (QR) mereka dengan standar tunggal bernama QRIS.
QRIS memungkinkan interoperabilitas di antara bank-bank dan penyedia layanan e-wallet (dompet elektronik), menekan biaya transaksi dan meningkatkan efisiensi bagi para pelaku usaha.
Sebelumnya, pemilik usaha harus membayar biaya yang mahal untuk menyediakan lebih dari satu QR Code, atau bahkan perangkat Electric Data Capture (EDC) untuk pembayaran dengan kartu debit atau kredit.
Berkat rendahnya biaya merchant (merchant fees) melalui QRIS, saat ini jumlah usaha yang menggunakan sistem tersebut mencapai 22,4 juta, lebih dari tiga kali lipat jumlah usaha yang menggunakan QR di Thailand. Hal ini menjadikan Indonesia di posisi teratas di Asia Tenggara dalam hal pembayaran digital berbasis QR.
QR lintas negara
Kisah sukses Indonesia membuat negara-negara ASEAN lainnya tertarik untuk mempelajari dan mengadopsi sistem yang sama. Sejak QRIS diluncurkan, nilai transaksi berbasis QR di Indonesia bertumbuh tiga kali lipat setiap tahunnya.
Pada 2022, nilai transaksi QRIS mencapai Rp 98,5 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar Rp 27,7 triliun, dan Rp 8,2 triliun pada 2020. Menariknya, pertumbuhan yang amat pesat ini terjadi bahkan di tengah kondisi geografis Indonesia yang sangat menantang dengan belasan ribu pulau.
Pada November 2022, Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand menandatangani perjanjian untuk bersama-sama mendorong konektivitas sistem pembayaran di kawasan Asia Tenggara melalui penggunaan QRIS. Saat ini, QRIS dapat digunakan di Thailand, sedangkan Malaysia masih dalam tahap uji coba dan Singapura dalam tahap pengembangan atau inisiasi.
Dengan adanya QR code yang terstandarisasi dan dapat beroperasi di mana saja di ASEAN, jumlah transaksi akan lebih melonjak lagi karena memudahkan para pelancong di kawasan Asia Tenggara.
Baik konsumen maupun pemilik usaha mendapat manfaat dari terobosan tersebut, dan tentunya, menjadi landasan yang kuat untuk tercapainya Masyarakat Ekonomi Asean atau ASEAN Economic Community (AEC) pada 2025.
Penggunaan mata uang lokal
Selain karena teknologi yang mendukung, QR lintas negara dapat terjadi karena adanya kesepakatan tentang layanan mata uang lokal untuk perdagangan atau local currency settlement (LCS) di antara negara anggota ASEAN dalam beberapa tahun belakangan ini.
Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand telah bersepakat untuk mengadakan bilateral swap, yaitu transaksi mata uang lokal antara dua negara secara langsung tanpa harus menggunakan mata uang lain, misalnya dolar Amerika Serikat (AS), sebagai patokan nilai tukar. Dengan adanya kesepakatan tersebut, keempat negara dapat mengurangi volatilitas nilai tukar dan risiko merembetnya pelemahan kurs.
Menurut data Bank Indonesia, transaksi LCS melonjak menjadi sebesar USD 2,5 miliar pada 2021 dari USD 797 juta pada 2020. Tahun lalu, LCS berkontribusi sekitar 4 persen dari total nilai perdagangan Indonesia dengan Malaysia dan 3 persen dengan Thailand.
Pada pertemuan ASEAN Finance Ministers and Central Banks’ Governors Meeting (AFMGM) akhir Maret silam, para otoritas keuangan di kawasan Asia Tenggara setuju untuk menerapkan skema Local Currency Transactions (LCT) dalam rangka mengurangi ketergantungan ASEAN terhadap berbagai mata uang utama di dunia, terutama dolar AS.
Digitalisasi yang bertumbuh pesat di ASEAN, kisah sukses Indonesia dalam menerapkan QRIS, serta kondisi volatilitas di berbagai mata uang utama, menunjukkan bahwa sebenarnya aspirasi kawasan bisa tercapai.
Sebagai gambaran pesatnya laju ekonomi ASEAN, Asian Development Bank (ADB) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kawasan mencapai 4,7 persen tahun ini, jauh lebih tinggi jika dibandingkan pertumbuhan di negara-negara maju yang hanya mencapai 0,4 persen. Ini menunjukkan bahwa siapapun tidak bisa sendiri saja menghadapi liku-liku perbedaan aturan, norma, dan budaya di antara negara-negara ASEAN.
HSBC berakar kuat di ASEAN
Dengan pengalaman lebih dari 130 tahun di ASEAN, HSBC hadir secara cermat untuk mendukung pertumbuhan bisnis Anda dan memungkinkan Anda untuk meraih berbagai kesempatan baru.
Kehadiran HSBC di kawasan selama lebih dari satu abad menciptakan kristalisasi pemahaman yang mendalam, tidak hanya di tiap-tiap negara ASEAN, melainkan juga dinamika interaksi antarnegara di kawasan.
Sebagai bank perdagangan paling top di dunia, HSBC memiliki solusi-solusi pembayaran digital yang membantu dunia usaha untuk mengoptimalkan modal kerja mereka dengan layanan transaksi fleksibel dalam mata uang lokal dan luar negeri.
Selain menawarkan fleksibilitas, layanan digital mengurangi risiko kesalahan manusia (human error). Perusahaan-perusahaan dapat memilih beragam jenis mata uang dan menghemat waktu dalam bertransaksi.