Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyampaikan, omnibus law UU Cipta Kerja resmi dibahas di sidang tahunan International Labour Organization (ILO).
Said mengatakan, pembahasan itu telah disampaikan KSPI kepada Dirjen ILO melalui International Trade Union Confederation (ITUC), di Jeneva, Swiss, Kamis (8/6/2023).
Ia menjelaskan, sidang tahunan ILO dihadiri seluruh negara anggota, yang meliputi wakil pemerintah, perwakilan organisasi pengusaha, dan perwakilan serikat buruh di masing-masing negara.
“Tahun ini sidang dilakukan tatap muka. ITUC atas nama KSPI berhasil memasukkan ke dalam agenda international labour conference (ILC) tahun ini tentang penolakan omnibus law UU Cipta Kerja,” kata Said Iqbal, melalui keterangan pers tertulis, Kamis ini.
Menurutnya, setiap tahun ada ribuan kasus melibatkan buruh di seluruh dunia. Di mana masing-masing negara saling tarik-menarik kepentingan agar permasalahannya bisa masuk sebagai bahasan di ILC.
Said menjelaskan, di dalam ILO, terdapat sidang Komite Aplikasi Standard atau Conference Committee on the Application of Standards (CAS).
"Ini adalah sebuah sidang untuk mencari keputusan terhadap pelanggaran konvensi dasar ILO di masing-masing negara," ucapnya.
Kata dia, UU Cipta Kerja hampir tidak dibahas. Namun, dalam rapat governing Body Said Iqbal mengaku menyakinkan ITUC bahwa ini perkara penting.
Baca juga: Kawal Sidang Uji Formil UU Cipta Kerja, Partai Buruh Minta Mahkamah Konstitusi Sahkan RUU PPRT
"Karena kalau tidak dibahas dan UU Cipta Kerja berlaku, bukan tidak mungkin negara-negara di Asia Tenggara akan mencontoh Indonesia," jelasnya.
Menurut Said Iqbal, secara prinsip UU Cipta Kerja melanggar Konvensi ILO No 98 dan Konvensi No 87 tentang hak berserikat dan berunding Bersama.
"Omnibus law hak berserikat menjadi hilang fungsinya karena adanya outsourcing di semua jenis pekerjaan dan pesangon yang ditetapkan murah. Hak berserikat memang ada di UU 21/2000, tetapi dalam perilaku dikebiri,” ujar Said.
Baca juga: Dilema Perjanjian Kerja antara UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, Ini Solusi Anwar Budiman
Dalam sidang ini, KSPI menuntut tiga hal. Pertama, cabut omnibus law UU Cipta Kerja.
"Kedua, dilarang memberlakukan aturan turunan dari UU Cipta Kerja. Dan ketiga, meminta Dirjan ILO membentuk tim pencari fakta," sebut Said.
“Membawa permasalahan ini ke dunia internasional bukan berarti kami tidak nasionalis. Kami cinta Indonesia. Pidato saya selalu pada kebanggaan Indonesia, capaian Presiden Jokowi. Kita bangga Indonesia mampu mengendalikan covid-19 dan pertumbuhan ekonomi menjadi nomor tujuh terbesar di dunia. Tetapi yang kita permasalahkan, pertumbuhan ekonomi tidak menetes terhadap kaum buruh,” sambungnya.
Sebelumnya, Partai Buruh menghadiri sidang kedua uji formil Omnibus Law Undang Undang (UU) Cipta Kerja, di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (5/6/2023).
Hal ini terkait gugatan judicial review (JR) UU Ciptaker Nomor 6 Tahun 2023, yang sebelumnya diajukan Partai Buruh ke MK.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, Partai Buruh hanya satu-satunya partai politik (parpol) yang mengajukan gugatan uji formil terhadap UU tersebut.
Ia menyebut, MK adalah jalan terakhir untuk mencari keadilan bagi para buruh, yakni dengan mencabut UU Nomor 6 Tahun 2023 itu.
"Makanya kami sampaikan bahwa MK adalah jalan terakhir untuk mencari keadilan dengan cara mencabut Omnibus Law UU Ciptaker Nomor 6 Tahun 2023, yang secara uji formil hanya satu-satunya parpol yang melakukan JR ke MK, hanya Partai Buruh," kata Said Iqbal, dalam konferensi pers, di Patung Kuda Monas, Jakarta Pusat, Senin ini.
Said meyakini, Hakim Konstitusi akan mempertimbangkan dengan baik dalam membuat putusan terkait gugatan yang mereka ajukan.
"Kami percaya para hakim akan mempertimbangkan sungguh-sungguh dalam permusyarawatannya untuk mengambil keputusan," ucapnya.
Said melanjutkan, Partai Buruh juga tetap akan mengajukan gugatan JR terhadap aturan presidential threshold 20 persen dan revisi parliamentary threshold 4 persen.
"Dan di tanggal 10-15 Juni, di antara itu kami akan masukkan lagi yang kedua, penolakan presidential threshold 20 persen dan revisi parliamentary threshold 4 persen, yang harus juga dimaknai parlemen threshold 4 persen adalah total dari jumlah suara DPR juga," jelas Said Iqbal.