TRIBUNNEWS.COM - Dalam konteks keuangan berkelanjutan atau sustainable finance, perbankan dituntut untuk lebih cermat dalam menentukan apakah suatu penyaluran pinjaman benar-benar memiliki dampak terhadap penurunan emisi karbon dari kegiatan operasional para debiturnya.
Apabila konteks tersebut telah sesuai dengan kenyataan, sudah sepantasnya masyarakat dapat menganggap bahwa sustainable finance bukan hanya sekadar terminologi indah yang digunakan untuk mendongkrak citra perbankan. Melainkan, masyarakat dapat melihat bahwa perbankan benar-benar memainkan perannya sebagai mesin penggerak dalam mewujudkan ekonomi rendah karbon.
Untuk itu, perbankan di seluruh dunia telah merespons potensi tersebut dengan menerapkan kebijakan dalam penyaluran pinjaman yang dapat membantu para debitur beralih ke praktik operasional usaha yang rendah emisi karbon. Konsekuensi yang muncul adalah bank akan membatasi pembiayaan bagi para debitur yang tidak dapat menyesuaikan model kegiatan usaha menuju ekonomi rendah karbon.
Dalam hal ini, HSBC telah menetapkan target berbasis sains untuk secara bertahap mengurangi penyaluran pinjaman di sektor beremisi tinggi, kecuali apabila perusahaan-perusahaan dalam sektor-sektor tersebut dapat secara komprehensif memiliki rencana dan mengikat komitmen untuk bertransisi ke ekonomi rendah karbon.
Kebijakan seperti ini tampaknya akan menjadi haluan bagi industri perbankan dalam penyaluran kredit korporasi maupun kelembagaan ke depannya.
Komunitas global menggodok kebijakan iklim
Dalam mewujudkan ekonomi rendah karbon, perbankan melihat keterlibatan aktif seluruh pemangku kepentingan, khususnya para debitur yang merupakan prioritas utama.
Untuk mempercepat serta memicu lebih banyak pemangku kepentingan berperan aktif dalam transisi bebas karbon, lembaga keuangan perlu memberikan insentif bagi debitur korporasi yang memiliki komitmen dan kapabilitas yang baik dalam mengimplementasikan proses bertransisi. Insentif dapat diberikan dalam bentuk kemudahan akses, maupun skala pembiayaan yang besar.
The Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) merupakan bukti nyata dari komitmen industri keuangan terkait percepatan dekarbonisasi. HSBC adalah mitra pendiri GFANZ yang kini beranggotakan lebih dari 500 institusi keuangan.
Melalui GFANZ, industri keuangan menjawab tantangan alokasi modal yang efisien bagi percepatan upaya dekarbonisasi global. Salah satu contoh komitmen GFANZ, yang diumumkan dalam ajang G20 pada 2022, yaitu pembentukan Indonesia JETP (Just Energy Transition Partnership) Working Group.
Kelompok kerja tersebut akan berkolaborasi secara erat dengan Pemerintah Indonesia dan International Partners Group yang terdiri atas Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Uni Eropa, dan sejumlah negara lain untuk memobilisasi pendanaan publik dan swasta senilai USD 20 miliar dalam kurun waktu tiga hingga lima tahun ke depan.
Adapun Pemerintah Indonesia telah mengumumkan komitmen nirkarbon pada 2060 dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan turunan guna mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Salah satunya dengan penerapan Taksonomi Hijau Indonesia 1.0 dan peluncuran Energy Transition Mechanism Country Platform pada 2022. Baru-baru ini, kita juga menyaksikan penawaran umum perdana (IPO) Pertamina Geothermal Energy (PGE) yang menandai tonggak penting pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Di tempat lain, implementasi Carbon Border Adjustment Mechanism oleh Uni Eropa akan memperbesar biaya impor untuk barang dan jasa yang belum dikenakan pajak karbon di negara asal.
Lalu, pembobotan risiko dari European Banking Authority pada gilirannya akan berdampak pada kenaikan biaya modal secara global. Meski aturan ini belum berdampak langsung bagi debitur Indonesia saat ini, pembobotan risiko tersebut akan memengaruhi biaya pinjaman bagi industri penghasil emisi tinggi melalui penalti ataupun sebaliknya berupa insentif bagi industri rendah emisi.
Gabungan semua upaya tersebut melekatkan biaya karbon yang riil pada kegiatan usaha, meskipun perlu diakui bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan guna menjalankannya secara tepat.
Upaya-upaya ini memungkinkan pihak perbankan untuk menunjukkan peringkat para debitur dibanding kompetitor mereka dalam transisi karbon. Metriks ini juga menunjukkan dampak transisi emisi berbasis sains pada peringkat kredit dan biaya modal; positif bagi korporasi yang menjalankan transisi rendah karbon, dan negatif bagi usaha yang menyimpang dari jalur transisi.
Keterlibatan pemangku kepentingan adalah kunci
Tantangan berikutnya, perusahaan perlu merumuskan rencana transisi berkelanjutan dalam menjalankan proses bisnis. Hal ini akan menjadi isyarat seberapa kuat niat perusahaan dalam menjalankan transisi nirkarbon kepada para pemangku kepentingan yang semakin menuntut bukti nyata dari komitmen lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST/ESG).
Peran bank adalah secara aktif mengajak para debitur untuk mulai merencanakan transisi emisi dan mendukung upaya mereka. Pihak perbankan perlu proaktif mengembangkan solusi pembiayaan dan investasi bagi seluruh sektor industri, termasuk yang menghasilkan emisi tinggi sekalipun, agar mereka dapat mengupayakan program penurunan emisinya.
Dengan demikian, upaya pengurangan karbon tetap bisa mempertahankan stabilitas ekonomi, melindungi standar hidup masyarakat, dan memastikan akses energi yang terjangkau bagi publik. Poin ini memiliki relevansi khusus bagi Indonesia yang kaya akan sumber daya alam.
Bank-bank di seluruh dunia mulai menerapkan kebijakan terperinci yang secara gradual menghentikan pembiayaan ke sektor terkait bahan bakar fosil, seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan tambang batu bara, serta memfasilitasi transisi energi yang adil.
Ke depannya, lebih banyak kebijakan khusus sektoral akan terbit dan lebih banyak bank yang akan melakukannya.
Sejumlah kalangan meragukan komitmen perbankan terkait visi nirkarbon. Mereka berpandangan bahwa hal tersebut hanyalah marketing yang hiperbolis. Pandangan seperti ini keliru dan perlu diluruskan.
Komitmen industri keuangan sejatinya didorong oleh keterpaparan terhadap peraturan risiko iklim yang memberi insentif bagi pihak yang paling cepat melakukan transisi, serta mekanisme pasar terkait beban riil emisi karbon sebuah kegiatan usaha.
Alasan lain, dan yang paling penting, yakni perbankan termotivasi oleh kebutuhan mendesak mendanai kegiatan mitigasi perubahan iklim.
Sasaran industri keuangan terkait transisi emisi ini hanya dapat dicapai melalui kemitraan yang erat dengan pemangku kepentingan. Keterlibatan yang konstruktif sangat penting untuk menyelaraskan alokasi modal bagi pihak yang serius menjalani transisi bebas emisi.
Tanpa itu, kita tak mungkin bisa memitigasi dampak terburuk perubahan iklim global.