News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ekonom Nilai Sub Holding PalmCo Jadi Solusi Permasalahan Stabilisasi Harga Minyak Goreng

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi. Pekerja mengangkut kelapa sawit kedalam jip di Perkebunan sawit di kawasan Bogor, Jawa Barat

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan PTPN Group memisahkan bisnis sawit ke dalam rencana pendirian sub holding PalmCo dinilai dapat memberikan solusi dari permasalah industri sawit nasional khususnya stabilisasi harga minyak goreng.

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan, PalmCo akan menjadi agent of development, dengan tugas utama menjaga pasokan dan harga minyak goreng domestik.

Baca juga: Soal Dugaan Keterlibatan Airlangga di Kasus Korupsi Migor, Kejagung: Masih Prematur

Menurutnya, instabilitas harga minyak goreng domestik selama ini disebabkan oleh kurangnya pasokan dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi.

"Selama ini stabilisasi harga minyak goreng melalui mekanisme DMO (domestic market obligation) seringkali menemui kegagalan. Dengan pasar yang terintegrasi dengan pasar global dan harga komoditas dunia yang cenderung meningkat, godaan untuk ekspor CPO dan minyak goreng adalah sangat besar," kata staf pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu di Jakarta, Kamis (27/7/2023).

Baca juga: Kasus Korupsi Pengadaan Lahan HGU PTPN XI, 5 Orang Dicegah ke Luar Negeri

Dia menyebut untuk merebut pasar global merupakan langkah strategis bagi produsen CPO dalam jangka panjang untuk jaminan pemasaran sekaligus keuntungan yang tinggi dengan menjual CPO ke luar negeri.

Hal itu, kata dia, lebih menguntungkan daripada menjualnya sebagai minyak goreng di dalam negeri terkait biaya produksi dan logistik yang cukup tinggi serta kebijakan stabilisasi harga minyak goreng yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat.

Dengan begitu, pembentukan PalmCo, imbuh dia, dapat menurunkan masalah oligopoli di industri sawit dan minyak goreng nasional.

Karakteristik industri minyak goreng yang sangat bergantung pada pasokan CPO sebagai input utamanya, membuat integrasi vertikal menjadi bentuk usaha yang efisien.

Berikutnya, Yusuf mengatakan Palm Co akan memimpin transformasi industri biodiesel dengan tidak hanya mengandalkan CPO sebagai tulang punggungnya, namun juga melakukan pengembangan biodiesel berbasis minyak jelantah.

"Sejak 2015, konglomerasi sawit tidak lagi hanya menguasai perkebunan sawit di hulu dan industri minyak goreng di hilir, namun kini juga semakin melebar ke industri biodiesel. Kebijakan biodiesel lahir dari upaya menahan kejatuhan harga CPO akibat produksi yang berlebihan seiring ekspansi lahan perkebunan sawit yang masif sejak 2000-an," jelasnya.

Untuk menyerap kelebihan pasokan CPO ini maka diciptakanlah permintaan domestik yang signifikan, yaitu melalui program biodiesel berbasis CPO sebagai campuran 20 persen solar (B20), yang kemudian menjadi B30 dan ke depan direncanakan B40.

"Namun karena terdapat selisih harga antara biaya produksi biodiesel yang tinggi dan harga jual solar yang lebih rendah, maka diberikan insentif biodiesel yang dananya diambil dari pungutan ekspor CPO," tuturnya.

Di sisi lain, pungutan ekspor CPO menekan harga TBS di tingkat petani, karena eksportir dan pabrik CPO memindahkan beban pungutan ekspor ke harga beli TBS yang lebih rendah.

Selain itu, besarnya kebutuhan biodiesel berbasis CPO ini telah mendorong lebih jauh ekspansi lahan sawit sehingga memberi ancaman besar bagi deforestasi.

Untuk itu, ia berharap dengan strategi yang tepat, maka Palm Co di masa mendatang dapat turut ambil bagian dalam pengembangan biodiesel namun dengan cara yang ramah.

PalmCo diharapkan mampu membantu memangkas masalah tata niaga sawit.

Sebagai perusahaan baru, sub-holding PalmCo ini diharapkan tidak berperilaku sebagaimana korporasi sawit besar lainnya yang cenderung memiliki banyak masalah. Mengingat di Indonesia saat ini, rantai pasok industri kelapa sawit nasional didominasi segelintir kelompok usaha besar.

Selain merusak lingkungan karena membuka lahan dalam skala besar, sejumlah permasalahan utama industri sawit nasional berkaitan dengan perizinan perkebunan kelapa sawit yang tidak akuntabel, pengendalian pungutan ekspor komoditas sawit yang tidak efektif dan pemungutan pajak di sektor kelapa sawit yang tidak optimal.

"PalmCo tidak bertabrakan dengan agenda ketahanan pangan. Pembentukan sub holding Palm Co ini diharapkan tidak bertabrakan dengan agenda pemerintah lainnya, seperti rencana percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (biofuel)," urainya.

Ia mencontohkan salah satu Sub holding Sugar Co yang sukses merevitalisasi industri gula nasional dan meningkatkan produksi gula nasional.

Sebagai perusahaan yang sudah memiliki lahan luas, Palm Co dalam operasionalnya diharapkan tidak terlibat dalam deforestasi.

Dari hasil merger sejumlah unit usaha sawit PTPN Group, PalmCo akan memiliki lahan seluas 500.000 ha.

Ditambah konversi lahan karet, tebu dan lain yang selama ini dinilai idle seluas 200.000 ha, PalmCo ke depan akan menguasai total lahan mencapai 700.000 ha.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini