TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta agar pemerintah tidak menghapus Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi seperti Pertalite dan Solar.
Menurut Mulyanto, pemerintah sebaiknya membuat perhitungan dengan mempertimbangkan semua aspek secara menyeluruh.
"Secara umum semakin tinggi tingkat RON maka semakin bagus tingkat pembakaran mesinnya, timbal lebih sedikit dan tentunya semakin bersih. Jadi semakin ramah lingkungan," kata polisi Partai Keadilan Sejahtera tersebut saat dihubungi Tribun Network, Selasa (29/8/2023).
Baca juga: Khusus Pemilik Nama Agus Bisa Isi BBM Pertamax - Pertalite Gratis Selama Sebulan, Ini Ketentuannya
Mulyanto menilai apabila BBM Pertamax disubsidi maka pemerintah perlu menilai dari sisi keekonomian.
Dia berharap masyarakat tidak terbebani dengan upaya menggeser konsumsi dari BBM murah ke yang lebih mahal.
"Pemerintah jangan hanya membebankan harga energi yang tinggi tersebut kepada masyarakat," ucap Mulyanto.
Pada prinsipnya Doktor Nuklir lulusan Tokyo Institute of Technology tersebut setuju BBM Pertamax disubsidi dengan perhitungan cermat tetapi tidak menghapus Pertalite yang harganya terjangkau.
Dia bilang jangan sampai ada kesan pemerintah akan menghapus pengadaan BBM murah bagi rakyat.
"Di Malaysia yang disubsidi adalah BBM setara Pertamax Plus (RON 95). Masyarakat di sana senang karena bisa menikmati BBM yang bagus dan bersih," tutur Mulyanto.
"Kalau pemerintah punya uang maka sebaiknya harga Pertamax disubsidi agar harga jualnya setara dengan harga Pertalite eksisting," ungkapnya.
Terkait pernyataan Menteri ESDM Arifin Tasrif bahwa tidak ada sama sekali pembahasan BBM Pertamax disubsidi, dirinya menyebut hal itu bagus.
Baca juga: Daftar Harga BBM di SPBU Shell, BP, dan Vivo per Jumat, 25 Agustus 2023
Dengan begitu, imbuh Mulyanto, BBM Pertalite tidak akan dihapus dalam waktu dekat ini.
"Saya rasa bagus demikian, tetapi ini baru kajian internal Kementerian ESDM," tukasnya.
Mulyanto juga mengetahui kabar kelangkaan BBM Pertalite di sejumlah daerah imbas volume pembeliannya yang dibatasi.
Dia menjelaskan bahwa DPR akan meminta Pertamina dan BPH Migas membuat prognosis sehingga kebutuhannya bisa dipenuhi.
"Kita akan mintakan prognosis terkait kebutuhan Pertalite dan kita carikan jalan keluarnya kalau memang kurang," pungkasnya.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmi Radhi menyebut rencana subsidi Pertamax tidak tepat.
Pasalnya Pertamax bukan termasuk jenis BBM yang ramah lingkungan.
"Kalau agar konsumen pindah ke bensin ramah lingkungan, menurut saya kurang tepat. Karena Pertamax itu RON 92, itu belum termasuk yang ramah lingkungan, sesuai standar EURO 4 (RON 95-98). Kalau yang ramah lingkungan itu Pertamax Turbo. Sehingga tujuan ramah lingkungan tidak tercapai," katanya.
Menurut dia, subsidi yang diberikan untuk Pertamax lebih pada mengurangi disparitas harga dengan Pertalite.
Apalagi memang subsidi untuk Pertalite terbilang tinggi, namun subsidi itu harus dibarengi dengan ketegasan kebijakan pembatasan Pertalite.
Fahmi menilai penyaluran Pertalite saat ini masih belum tidak tepat sasaran.
"Saya kira pemerintah ini mencla-mencle. Pembatasan Pertalite ini kan berbasis aplikasi. Tidak semua orang bisa menggunakan aplikasi. Pertalite ini bisa tepat sasaran, kalau pemerintah menetapkan dengan tegas, melalui peraturan menteri atau peraturan presiden, yang boleh beli Pertalite itu motor dan angkutan orang atau barang," tandasnya.
"Sehingga nanti selain motor dan angkutan orang atau barang harus beli Pertamax. Selama ini kan subsidi ini tidak tepat sasaran juga. Mobil pribadi, bahkan mobil mewah juga beli Pertalite," kata dia.
Fahmi menambahkan masyarakat akan secara sukarela beralih ke Pertamax, apabila disparitas harga dengan Pertalite tidak terlalu tinggi.
"Kalau disparitas harga tidak terlalu tinggi, konsumen akan sukarela beralih ke Pertamax. Terutama yang mobil-mobil pribadi ini. Karena kan dengan harga yang tidak terpaut jauh, tetapi dapat kualitas BBM lebih baik. Tetapi sekali lagi, pemerintah lebih tegas," imbuhnya.
Dibantah Pemerintah
Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif tegas membantah isu miring Pertamax akan disubsidi.
Arifin memastikan bahwa sama sekali tidak ada pembahasan mengenai Pertamax dengan RON 92 akan disubsidi.
Hal itu lantaran Pertamax tidak termasuk ke dalam daftar BBM bersubsidi seperti Pertalite dan Solar.
"Enggak ada pembahasan mengenai subsidi Pertamax," kata Arifin di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (28/8/2023).
Mantan Duta Besar RI untuk Jepang itu menegaskan Pertamax bukan bagian dari BBM penugasan sehingga posisinya tidak bisa diberikan anggaran subsidi.
"Tidak ada subsidi Pertamax, kan sudah dibilangin. Pertama emang disubsidi? tidak kan. Tidak ada wacana itu yang karang-karang siapa," tutur Arifin.
Dia mengaku hadir ke Istana Kepresidenan untuk mengikuti rapat kabinet membahas polusi udara.
Menurutnya, permasalahan polusi dari emisi kendaraan bermotor ini karena BBM yang digunakan di Indonesia tingkat polutannya belum terlalu bersih.
"Masalah BBM ini banyak contohnya BBM yang memang tingkat polutannya bersih segala macam," urainya.
Sementara Pertamina mengungkapkan bahwa Perseroan akan mengikuti mandat Pemerintah selaku regulator, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Pertamina sebagai operator, kami tentunya nanti akan berkoordinasi kepada Pemerintah/regulator," ungkap Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting saat dihubungi.
"Karena kalo bicara kebijakan, itu kewenangan regulator," sambungnya.
Irto melanjutkan, untuk saat ini Pertamina tetap menyalurkan BBM bersubsidi sesuai dengan aturan yang ada, yakni BBM jenis Solar.
"Pertamina Patra Niaga selaku operator akan berkomitmen menjalankan kebijakan penyaluran BBM Penugasan dan Subsidi sesuai dengan regulasi yang ditetapkan Pemerintah," pungkasnya.
Isu pemberian subsidi untuk Pertamax timbul sejalan ramainya bahasan polemik polusi udara di DKI Jakarta.
Kendaraan berbahan bakar fosil menjadi penyebab utama buruknya kualitas udara dan hingga kini pemerintah tengah berupaya mencarikan kebijakan terbaik atas persoalan ini. (Tribun Network/Reynas Abdila)