News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Cegah Kelangkaan Minyak Goreng, Pemerintah Diminta Fokus Menata Kebijakan

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi minyak goreng di gerai ritel

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Diminta berhati-hati dalam menyikapi masalah minyak goreng di Indonesia.

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi), Tungkot Sipayung, mengatakan antisipasi yang baik diperlukan untuk menghindari potensi berulangnya kelangkaan atau lonjakan harga minyak goreng di masa yang akan datang.

“Masalah minyak goreng ini rawan terjadi lagi. Jadi, pemerintah harus berhati-hati agar tidak salah langkah. Sebagai produsen minyak sawit (crude palm oil/CPO) terbesar, seharusnya masalah seperti ini dapat diantisipasi,” ujar Tungkot dalam keterangannya, Selasa (5/9/2023).

Baca juga: Aprindo Resah Utang Rafaksi Migor Rp344 M Tak Dibayar Pemerintah, Ancam Lakukan Ini

Ia berpendapat semua pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, perlu belajar dari kasus sebelumnya dan berupaya memperbaiki situasi serta lebih fokus dalam menyiapkan regulasi dan tata kelola pasar minyak goreng yang baik.

Tungkot menjelaskan Indonesia adalah produsen sekaligus konsumen minyak sawit terbesar di dunia. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi akan mendorong peningkatan konsumsi oleofood, terutama minyak goreng.

Berbagai studi menunjukkan bahwa pasar minyak nabati dunia akan mengalami kelebihan permintaan setidaknya hingga tahun 2050. Ini berarti kenaikan harga minyak sawit dunia, seperti yang terjadi pada tahun 2022, mungkin akan sering terjadi.

“Kemungkinan terjadi kelangkaan minyak goreng domestik diperkirakan akan sering terjadi di masa mendatang jika tidak ada perubahan kebijakan,” papar dia.

Harga minyak nabati dunia, termasuk minyak sawit, meningkat secara signifikan. Data dari World Bank (2022) menunjukkan bahwa harga minyak kedelai naik dari 748 dolar AS per ton pada Januari 2019 menjadi 1.957 dolar AS per ton pada Maret 2022. Pada periode yang sama, harga minyak sawit meningkat dari 537 dolar AS per ton menjadi 1.823 dolar AS per ton.

Baca juga: Aprindo Peringatkan Imbas Bila Pemerintah Tak Bayar Utang Rafaksi Migor: Berdampak pada Stok Barang

“Peningkatan harga CPO dunia tersebut mengakibatkan kenaikan harga minyak goreng di pasar domestik,” ungkap Tungkot.

Dia mengatakan bahwa kenaikan harga tersebut menciptakan dilema antara ekspor (untuk memperoleh devisa) dan pemenuhan kebutuhan domestik. Dilema tersebut, jika tidak dipecahkan, berpotensi menimbulkan masalah politik dan hukum, seperti yang terjadi tahun lalu.

Solusi untuk dilema tersebut adalah pembagian tanggung jawab. Korporasi swasta yang menghasilkan minyak goreng tidak seharusnya dibebani dengan tanggung jawab menjamin pasokan minyak goreng domestik. “Bebaskan ekspor untuk memperoleh devisa dari pasar dunia,” jelas Tungkot.

Untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng domestik, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah (sekitar 50 persen dari total konsumsi domestik), seharusnya menjadi tanggung jawab BUMN seperti PTPN, ID Food, dan Bulog.

Baca juga: Muhammad Lutfi Mangkir dari Pemeriksaan Kejagung soal Dugaan Korupsi CPO dan Migor

Kapasitas pabrik minyak goreng PTPN saat ini telah mencapai 1,6 juta ton kiloliter (kl) dan berpotensi terus bertambah. Jika dianggap perlu menerapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng domestik, maka pemerintah dapat menugaskan BUMN untuk memenuhinya, di mana selisih harga ekspor dengan HET yang ditetapkan ditutup dari dana sawit.

Dengan cara ini, korporasi minyak goreng swasta dapat dengan bebas mengekspor ke pasar dunia tanpa adanya kewajiban domestic market obligation (DMO). Sementara itu, BUMN dapat memastikan ketersediaan minyak goreng domestik. Hal ini sebaiknya diatur dalam peraturan presiden. Selama periode 1971-1990, Indonesia berhasil mengadopsi kebijakan serupa.

“Dengan cara tersebut, dilema antara ekspor minyak goreng versus kebutuhan domestik yang terjadi selama ini dapat diatasi dan tidak terulang kembali,” kata Tungkot.

Tungkot juga menyoroti kebijakan stabilisasi harga minyak goreng yang inkonsisten dan menciptakan ketidakpastian. Kebijakan tersebut seharusnya didasarkan pada pemahaman mendalam tentang industri minyak goreng nasional.

Seharusnya, jika pemerintah ingin memastikan ketersediaan minyak goreng dengan harga yang lebih terjangkau, pungutan ekspor dapat ditingkatkan untuk memberikan insentif kepada pelaku usaha agar lebih cenderung menjual minyak goreng di dalam negeri daripada mengekspornya.(Kontan)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini