Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Perbankan investasi Goldman Sachs memprediksi harga minyak mentah jenis Brent di pasar global pada tahun 2024 akan mengalami kenaikan tajam, hingga tembus dikisaran 107 dolar AS per barel.
Proyeksi ini disampaikan Goldman usai harga minyak dunia terus mencatatkan kenaikan akibat pemangkasan pasokan minyak mentah yang dilakukan sejumlah negara produsen minyak OPEC+.
Seperti Arab Saudi yang memangkas ekspor minyak global sebesar 1 juta barel per hari (bpd), dengan dalih untuk menjaga stabilitas pasokan minyak dalam negeri.
Baca juga: Harga Minyak Mentah AS Naik Selama 3 Bulan Berturut-turut di Tengah Isu Pemangkasan OPEC Plus
Meski pemangkasan ini bukan kali pertama yang dilakukan pemerintah Riyadh, namun imbas kebijakan tersebut produksi minyak mentah Saudi untuk bulan Oktober, November dan Desember susut jadi 9 juta barel per hari.
Langkah serupa juga dilakukan Rusia, produsen minyak terbesar ketiga dunia ini secara mengejutkan memberlakukan kebijakan serupa, yakni dengan mengurangi jumlah ekspor minyaknya sebesar 500.000 barel per hari di Agustus dan 300.000 barel per hari di September.
Imbas pemangkasan ekspor minyak Arab dan Rusia, cadangan minyak di kilang Amerika terus mengalami penurunan stok di tengah lonjakan permintaan, serangkaian tekanan ini yang membuat para investor global mulai dilanda kekhawatiran hingga harga minyak berjangka ICE Brent untuk pengiriman November naik dari 1,07 per barel menjadi 90,07 per barel. Sementara WTI berjangka, melonjak lebih tinggi sebesar 1,40 dolar AS per barel hingga harganya melesat jadi 86,95 per barel.
Baca juga: Harga Minyak Mentah Merosot Jelang Rilis Data Ekonomi China-AS
"Kita memiliki persediaan minyak mentah yang cukup rendah di AS, dengan beberapa minggu penarikan minyak mentah besar yang mendorong harga naik," kata Bob Yawger, direktur futures energi juga di Mizuho.
Belum diketahui sampai kapan pemangkasan ekspor minyak akan terus dilakukan pemerintah Arab dan Rusia, namun apabila kebijakan ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama maka kenaikan harga minyak berpotensi menyebabkan lonjakan inflasi bagi sejumlah negara.