Pertama, fungsi stabilisasi APBN harus mampu menjadi shock absorber dalam merespon dinamika perekonomian dan tantangan. Kedua, fungsi alokasinya juga harus dapat mendukung agenda pembangunan. Ketiga, fungsi distribusinya mampu sebagai solusi kesejahteraan masyarakat.
Untuk menuju visi Indonesia Maju 2045, APBN tahun 2024 pun didesain untuk mempercepat transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Adapun target belanja negara yang mencapai Rp3.325 triliun itu akan dipenuhi dengan pendapatan negara yang Rp2.802 triliun dan pembiayaan Rp522 triliun.
Dengan begitu, APBN diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,2 persen dengan inflasi yang terjadi di angka 2,8 persen.
Untuk memperoleh hasil yang diinginkan, bea cukai cukup berperan dalam mewujudkannya. Berperan sebagai kontributor penerimaan negara (revenue collector), bea cukai turut mengemban amanat pendapatan negara, yaitu pada penerimaan perpajakan.
Target penerimaan DJBC di tahun 2024 yang mencapai Rp321 triliun berkontribusi dalam agenda pembangunan nasional tahun 2024, seperti pembangunan Ibukota Negara Nusantara (IKN) yang dianggarkan kurang lebih Rp40 triliun, agenda Pemilihan Umum (Pemilu) yang menyerap hampai Rp37,4 triliun, program pencegahan stunting dengan intervensi spesifik pada peningkatan gizi ibu hamil dan imunisasi, serta intervensi sensitif pada penyediaan fasilitas kesehatan dan minuman bernutrisi, air minum, dan sanitasi layak.
Salah satu kebijakan kepabeanan dan cukai di tahun 2024 adalah penerimaan negara yang optimal. Untuk mencapai target penerimaannya itu, bea cukai tentu akan menghadapi tantangan yang tidak mudah, baik eksternal maupun operasional.
Pada faktor eksternal, yakni berupa tensi geopolitik dan tekanan ekonomi global yang belum mereda dan diperkirakan akan berlanjut di tahun 2024. Salah satu imbasnya adalah moderasinya harga komoditas, khususnya di mineral dan CPO.
Pada faktor operasional tidak kalah penting, terutama pada penerimaan cukai rokok yang menghadapi tren konsumsi downtrading ke jenis rokok yang cukai lebih rendah atau beralih ke rokok elektrik.
Baca juga: APBN 2024 dan Peranannya sebagai Fondasi Menuju Indonesia Maju 2045
Di sisi lain, tantangan cukai masih belum selesai. Hal itu dikarenakan masih adanya bayang-bayang dengan peredaran rokok ilegal, sedangkan penerimaan BK menghadapi tantangan operasional berupa kebijakan pemerintah yang melarang ekspor mineral pada Juni 2024.
Namun, pemerintah menyadari kalau di balik tantangan bea cukai tersebut, tersembunyi peluang yang nantinya dapat dimaksimalkan. Misalnya, lewat perekonomian nasional di tahun 2024 yang diperkirakan akan tumbuh mencapai 5,2 persen.
Dengan demikian, konsumsi domestik dan aktivitas ekonomi masih terjaga dan ruang untuk penyelarasan proses bisnis (probis) dan Teknologi Informasi (TI), serta penyederhanaan pelayanan. Tak hanya itu, peluang penambahan barang kena cukai juga masih akan terbuka, serta sinergi dengan aparat penegak hukum dan K/L.
Menjawab tantangan dan memaksimalkan peluang tersebut, bea cukai melakukan berbagai upaya intensifikasi tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) melalui kebijakan yang multiyears (tahun 2023 dan 2024) dengan rata-rata kenaikan hingga 10 persen dan jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) maksimal 5 persen.
Sedangkan untuk ekstensifikasi BKC, melalui penambahan objek cukai baru dan merealisasikannya dengan pemungutan cukai produk plastik dan Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK), dengan tetap memperhatikan pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat.
Selain itu, bea cukai juga berupaya untuk melakukan penyederhanaan probis, terutama pada cukai. Bahkan, layanan yang berbasis digital juga dilakukan untuk pengembangan dan mengintegrasikan layanan e-commerce atau marketplace.