News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemanfaatan Energi Nuklir di RI Mulai Dijajaki, Seberapa Aman? Ini Penjelasan Eks Wamen ESDM

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016-2019 Arcandra Tahar

Keamanan disini tidak terbatas pada sisi pengoperasiannya saja tapi juga dari kemungkinan terjadinya bencana alam yang diluar kontrol manusia.

"Atau juga bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia sendiri seperti perang," papar Arcandra.

Sindrom NIMBY (Not In My BackYard) hampir selalu mengemuka jika ada rencana pembangunan PLTN di suatu negara.

Baca juga: Diminati Perbankan Nasional, PLN Peroleh Green Loan Rp12 Triliun untuk Program Transisi Energi

Penolakan warga agar PLTN tersebut tidak dibangun di daerahnya menjadi momok bagi pengembang PLTN.

Penolakan ini mendapat legitimasi lebih kuat setelah melihat akibat yang timbul dari kecelakaan PLTN Fukushima di Jepang tahun 2011 dan Chernobyl di Ukraina tahun 1986.

Meskipun memiliki profil resiko yang tinggi, beberapa negara seperti Perancis justru masih nyaman menggunakan PLTN sebagai sumber energi mereka.

Tetapi tidak dengan Jerman yang mempensiunkan PLTN yang mereka punya.

Disinilah kita bicara tentang risk appetite atau risk tolerance (tingkat resiko yang akan diambil) yang mempengaruhi strategi energi sebuah negara.

Menurut Arcandra, bagi Perancis risiko menggunakan energi nuklir dapat dikelola dengan baik tapi tidak dengan Jerman.

"Apakah hanya faktor keamanan yang menjadi penyebab perselisihan tentang PLTN ini? Tentu saja tidak," papar Arcandra.

"Seperti yang selalu kami sampaikan dalam beberapa tulisan, sebuah project atau inisiatif bisa go atau not go bergantung akan tiga hal," sambungnya.

Pertama apakah inisiatif tersebut secara teknikal fisibel (technically feasible). Kedua apakah secara komersial layak (commercially viable) dan ketiga apakah secara politik bisa diterima (politically acceptable).

Urutan dalam mengevaluasi sebuah proyek tidak boleh dilakukan secara acak. Harus dalam step yang teratur.

Step satu harus dimulai dari aspek teknikal, kedua aspek komersial dan ketiga baru aspek politik. Step ini juga tidak boleh dibalik seperti aspek politik dikedepankan kemudian baru teknikal dan komersial.

Dalam beberapa kasus, urutan yang terbalik ini menimbulkan banyak persoalan di kemudian hari karena aspek teknikal dan komersial jadi terabaikan.

"Begitu juga dengan inisiatif pembangunan PLTN. Secara teknikal PLTN adalah proyek yang visible," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini