Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kondisi investasi tahun ini diyakini akan lebih kondusif karena kebijakan moneter global akan lebih akomodatif.
Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Katarina Setiawan memandang tingkat suku bunga yang kini sudah mencapai puncaknya, menyebabkan akan ada pemotongan alias penurunan untuk ke depannya.
"Ini akan sangat membantu untuk pasar finansial, baik pasar obligasi maupun pasar saham," katanya dalam konferensi pers daring, Kamis (18/1/2024).
Baca juga: Investasi Hulu Migas 2023 Naik 13 Persen, Tembus Rp 210 Triliun
Menurut Katarina, obligasi akan menjadi instrumen investasi yang lebih dulu merespons positif daripada perubahan kondisi makro ekonomi global pada tahun ini.
Sebab, secara konektivitas atau sensitivitas, antara pasar obligasi dengan perubahan kondisi makro itu sangat dekat.
Ia pun mencontohkan sejumlah siklus yang menunjukkan kedekatan antara pasar obligasi dan kondisi makro.
"Di siklus-siklus kenaikan suku bunga ekstrem yang lalu, misalnya di tahun 1986, tahun 2006 sampai 2008, kemudian di tahun 2020, itu kelihatan bahwa setelah The Fed menaikkan suku bunga secara ekstrem terus menerus, secara agresif, kemudian melakukan jeda," ujar Katarina.
"Belum sampai suku bunga itu turun, US treasury yield atau imbal hasil dari US treasury itu langsung turun. Itu terjadi berulang-ulang," sambungnya.
Ia mengatakan, faktor lain obligasi akan lebih dulu unggul adalah nilai tukar rupiah yang akan terbantu dengan moderasi indeks nilai tukar US dollar terhadap mata uang dunia.
Katarina bilang, itu akan sangat membantu pasar obligasi RI dalam hal investor asing tertarik untuk masuk lagi.
Meski demikian, ini bukan berarti saham harus dilupakan begitu saja. Instrumen investasi yang satu ini, kata dia, akan menikmati keuntungan dari stabilnya nilai tukar rupiah dan turunnya suku bunga.
Baca juga: Harga Emas Antam Terus Melonjak Hingga Tembus Rp1,1 Juta per Gram, Masih Menarik untuk Investasi?
Kemudian, valuasi pasar saham yang saat ini sangat rendah juga dipandang menjadi faktor yang tak boleh dilupakan.
"Kita melihat bahwa hal ini akan memicu investor untuk masuk lagi ke pasar saham Indonesia karena selain valuasinya murah, juga pertumbuhan laba dari emiten itu cukup sehat untuk tahun ini," ujar Katarina.
"Secara agregat konservatif, kita memperkirakan akan ada pertumbuhan laba 8 persen. Ini konservatif dan sudah termasuk di dalamnya sektor komoditi. Kalau kita keluarkan, maka pertumbuhan labanya itu akan double digit. Jauh lebih dari 8 persen," lanjutnya.
Jadi, Katarina menekankan bahwa valuasinya masih sangat menarik, ditambah dengan pertumbuhan laba yang masih sehat, stabilnya nilai tukar rupiah, inflasi terjaga, dan suku bunga mulai turun.
Kemudian, ia mengatakan, secara historis terlihat bahwa setelah jeda pertama The Fed, biasanya pasar saham bereaksi positif dan akan outperform sekitar enam sampai sembilan bulan setelah itu.