TRIBUNNEWS.COM -- Sejumlah tantangan bakal menghadang sektor bisnis otomotif pada tahun ini.
Beberapa aturan pemerintah daerah juga diprediksi kurang bersahabat dengan industri otomotif.
Pemerintah Daerah DKI Jakarta menaikkan tarif pajak progresif kendaraan bermotor untuk kepemilikan kedua dan seterusnya sebesar 0,5 persen.
Kenaikan tarif ini tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta No. 1/2024. Meski baru diterapkan awal 2025, kebijakan ini bisa membuat konsumen menimbang ulang rencana pembelian mobil baru, terutama untuk kepemilikan kedua dan seterusnya.
Baca juga: Industri Pembiayaan Otomotif Lakukan Penguatan Teknologi Digital di Bisnisnya
Selain itu, pemerintah juga berwacana akan menaikkan tarif pajak kendaraan bermotor berbasis BBM. Tujuannya untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik dan mengalihkan subsidi BBM ke transportasi umum seperti LRT dan kereta cepat.
Marketing Director PT Toyota Astra Motor (TAM) Anton Jimmi Suwandy menyampaikan, pada dasarnya Toyota berharap pemerinta dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang akan menggairahkan pasar otomotif nasional.
Terkait pengenaan tarif pajak progresif terbaru dan kenaikan pajak kendaraan BBM, Toyota masih menunggu implementasinya di lapangan.
Di samping itu, Toyota juga memandang bahwa salah satu tantangan bisnis otomotif tahun ini adalah perhelatan Pemilu 2024 yang kemungkinan membuat sebagian konsumen menahan pembelian mobil untuk sementara waktu.
“Pemilu juga bisa menyebabkan adanya perubahan lanskap pasar otomotif nasional,” kata Jimmi dikutip dari Kontan, Rabu, (24/1/2024).
Minat konsumen untuk membeli mobil baru juga ditentukan oleh kestabilan makroekonomi secara nasional. Terlebih lagi, pembelian mobil baru merupakan salah satu transaksi yang signifikan bagi mayoritas konsumen.
Sementara itu, PT Honda Prospect Motor (HPM) menilai, tantangan terbesar industri otomotif tahun ini adalah kondisi pasar yang masih sulit diprediksi lantaran pengaruh politik maupun dinamika ekonomi nasional dan global.
Baca juga: Sarana Multi Infrastruktur dan Pemkab Tengah Utara Resmikan Sumur Bor Tenaga Surya
“Kami terus memonitor kondisi dan melakukan pengaturan produksi dan pasokan agar dapat memenuhi seluruh permintaan konsumen,” tukas Sales Marketing and After Sales Director Honda Prospect Motor Yusak Billy, Selasa (23/1).
Dihubungi terpisah, Pengamat Otomotif Bebin Djuana menyampaikan, tren penjualan otomotif sangat bergantung pada kondisi ekonomi dan stabilitas keamanan atau politik nasional.
Dia juga berpendapat, belum tentu rencana kenaikan pajak kendaraan BBM akan berjalan efektif dan sesuai tujuan apabila jadi diterapkan. Sebab, populasi kendaraan listrik saat ini masih jauh dari cukup untuk sekadar menggantikan sebagian kendaraan BBM. Kualitas transportasi umum juga harus ditingkatkan lebih dahulu jika pemerintah ingin menggiring masyarakat meninggalkan kendaraan pribadi lewat aturan kenaikan pajak.
Lagi pula, saat ini pajak kendaraan bermotor juga sudah cukup tinggi bagi para konsumen. “Jika dipaksakan, tentu akan menekan pertumbuhan industri otomotif,” kata dia, Selasa (24/1).
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) sendiri menargetkan penjualan mobil nasional akan mencapai 1,1 juta unit pada 2024.
Sementara Kepala Riset Praus Capital Marolop Alfred Nainggolan mengatakan, perlambatan pertumbuhan ekonomi serta suku bunga dan pajak yang tinggi akan sangat mempengaruhi permintaan produk otomotif .
"Terkait dengan faktor Pemilu dalam menahan konsumsi pembelian, saya melihat tidak terlalu signifikan bahkan di satu sisi belanja politik bisa ikut mendorong penjualan mobil," kata Alfred kepada Kontan.co.id, Selasa (23/1).
Penurunan terhadap penjualan mobil di tahun 2023 lebih disebabkan oleh faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi, kenaikan suku bunga pembiayaan, dan normalisasi (penurunan) harga komoditas.
Tahun ini, faktor-faktor tersebut masih akan menjadi pengaruh terbesar terhadap pencapaian target penjualan kendaraan. Selain itu, diprediksi pertumbuhan ekonomi akan kembali melambat, suku bunga di semester I juga masih tidak akan turun.
"Kami melihat hasil penjualan mobil di tahun ini masih akan stagnan," tutur Alfred.
Penjualan tertinggi mobil terjadi di tahun 2014 sebanyak 1,2 juta unit. Setelah itu, penjualan mobil terus turun hingga tahun 2019 sebanyak 1,03 juta dan baru pada 2022 kembali pulih setelah pandemi.
"Tahun ini juga kami perkirakan masih berjuang bisa mencapai 1 juta unit untuk penjualan domestik. Jadi untuk pasar otomotif dalam negeri relatif masih berat untuk mencari pertumbuhan," lanjut dia.
Penjualan otomotif bisa terangkat jika pertumbuhan ekonomi melaju. Selain itu, kenaikan harga komoditas berpotensi ikut mengerek permintaan kendaraan.
Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan terjadi di tahun ini akan menjadi sentimen positif bagi sektor otomotif. Lalu, tarif pajak yang juga mempengaruhi permintaan di produk otomotif, apalagi pada kondisi ekonomi yang tumbuh melambat.
Harga kendaraan yang naik akibat pajak akan menjadi sensitif terhadap minat konsumen. Namun saat ekonomi sedang ekspansi, pajak tidak akan menjadi sentimen signifikan terhadap permintaan.
"Terakhir, yaitu insentif yang menurut kami sangat diperlukan bagi sektor otomotif. Insentif menjadi perlu karena sektor otomotif ini memiliki pengaruh yang besar terhadap sektor lainnya. Contoh industri komponen, jasa keuangan (pembiayaan, asuransi), manufaktur," kata Alfred.
Alfred bilang, saham PT Astra International Tbk (ASII) yang sangat identik dengan sektor otomotif memiliki valuasi menarik dengan PER 6x. "Secara valuasi termasuk murah apalagi dengan historis dividennya yang tahun buku 2023 kami perkirakan bisa memberikan yield double digit," ujar Alfred.
Menurut dia, di sektor ini yang menarik adalah sektor pendukung seperti sektor komponen yaitu anak usahanya PT Astra Otoparts Tbk (AUTO) dengan PER 6,5x, secara pertumbuhan AUTO punya besaran yang lebih tinggi sehingga harganya saat ini lebih menarik. Sektor komponen lainnya adalah PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) yang juga valuasi yang randah dengan PER 4x. (Kontan/Dimas Andi)