News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Begini Nasib Program Jokowi Soal Hilirisasi Usai Anjloknya Harga Nikel Global

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Joko Widodo saat melakukan groundbreaking proyek hilirisasi batu bara menjadi dimetil eter (DME) di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Senin (24/1/2022). Proyek bernilai sebesar USD 2,1 juta atau setara dengan Rp 30 trilliun tersebut merupakan kerja sama antara PT Bukit Asam, PT Pertamina, dan investor asal Amerika Serikat, Air Products. Proyek ini akan mengubah 6 juta ton batu bara menjadi 1,4 juta ton DME setiap tahunnya. Menurut Presiden Jokowi, hilirisasi batu bara menjadi DME akan bisa menekan impor elpiji yang mencapai kisaran Rp 80 triliun. Tribunnews/HO/Biro Pers Setpres/Laily Rachev

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasar komoditas nikel global saat ini disebut-sebut tengah mengalami kelebihan pasokan.

Hal ini memberikan dampak terhadap harga nikel yang turun lebih dari 40 persen jika dibandingkan dari tahun lalu.

Diketahui, komoditas mineral tersebut diperdagangkan di kisaran angka 16.000 dolar Amerika Serikat per ton, mendekati level harga terendah sejak 2021.

Baca juga: Soal Hilirisasi Nikel Ugal-ugalan, Cak Imin Terima Tantangan Luhut

Lantas, anjloknya harga nikel dapat mempengaruhi program hilirisasi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ?

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengungkapkan, faktor turunnya harga nikel global utamanya karena besarnya jumlah pasokan dibandingkan dengan kebutuhan.

Namun, anjloknya harga nikel tidak langsung serta merta berdampak signifikan terhadap program hilirisasi pemerintah.

Hal ini dikarenakan Indonesia tengah mendorong produk-produk hilirisasi nikel yang perlahan masuk ke tahapan yang lebih tinggi.

Diketahui, Presiden Joko Widodo telah melarang ekspor nikel mentah pada awal 2020 lalu, di mana biji nikel harus dismelterkan di Indonesia.

Dan kini, hilirisasi produk nikel sukses dikembangkan meskipun masih berada di tingkat pertama dan kedua.

Fahmy melanjutkan, jika Indonesia saat ini telah sukses membangun produk hilirisasi nikel hingga ke tahap barang jadi, tentunya penurunan harga nikel tak berpengaruh.

Salah satu contoh barang jadi dari proses hilirisasi nikel adalah baterai kendaraan listrik.

"Saya kira ini karena kelebihan pasokan, sementara demand atau permintaannya itu menurun," ungkap Fahmy saat dihubungi Tribunnews, Kamis (25/1/2024).

"Kalau nikel di Indonesia dihilirisasi melalui produk-produk turunan, dan kalau bisa sampai ke produk baterai listrik, sesungguhnya itu enggak bakal terpengaruh anjloknya harga nikel," sambungnya.

Fahmy juga mengatakan, para investor asing melihat program hilirisasi nikel di Indonesia masih cukup menarik. Khususnya investasi yang berkaitan dengan pengembangan baterai kendaraan listrik.

Meskipun harga nikel global yang kini dalam posisi menurun.

Hal ini dikarenakan produksi kendaraan listrik global diproyeksikan terus meningkat.

Pertumbuhan ini tentunya turut mendongkrak permintaan baterai kendaraan listrik.

"Intinya investasi hilirsasi nikel masih menarik kalau asumsinya industri mobil listrik Indonesia berkembang pesat, maka baterai listrik itu masih diminati," ungkap Fahmy.

"Dan investor yang masuk dalam industri baterai di Indonesia ini saya kira masih menilai profitable dan ke depan pasarnya masih cukup besar," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini