Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan konflik agraria di Tanah Air naik 100 persen sepanjang tahun 2015 sampai 2023, mencapai 2.393 kasus yang berdampak pada 6,3 juta hektare tanah masyarakat, dan 1,75 juta keluarga.
Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika mengatakan eskalasi konflik selama satu periode tersebut cenderung meningkat tajam dibanding satu dekade sebelumnya.
"Kejadian konflik agraria menunjukkan praktik perampasan tanah rakyat untuk kepentingan konsesi perkebunan, kehutanan, pertambangan, pembangunan infrastruktur dan properti," kata Dewi dalam konferensi pers secara daring, Kamis (25/1/2024).
Situasi ini lanjutnya, diperparah oleh percepatan pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional (PSN) yang menggusur rakyat dari tanah dan sumber penghidupannya.
Dewi mengatakan perampasan tanah dan penggusuran tempat hidup masyarakat menjadi sebuah ironi sistem agraria yang kapitalistik. Karena menyebabkan ketimpangan struktur agraria di Indonesia kian mendalam.
Sedikitnya 39 juta hektare tanah dikuasai segelintir perusahaan sawit, kehutanan dan tambang. Parahnya bisnis sawit, tambang dan kehutanan yang ilegal justru diberikan amnesty atau pengampunan dalam UU Cipta Kerja.
Pemerintah juga mengklaim telah meredistribusikan tanah seluas 1,43 juta hektare atau 358 persen yang berasal dari Hak Guna Usaha (HGU) dan tanah terlantar.
Baca juga: LBH Jakarta Terima 726 Pengaduan Kasus Sepanjang 2023, Konflik Agraria Mendominasi
Sedangkan redistribusi yang berasal dari kawasan hutan baru mencapai 0,3 juta hektare atau 9 persen dari janji 4,1 juta hektare.
Namun Dewi menyebut capaian ini perlu dievaluasi karena pemerintah tidak pernah membuka data konsesi mana saja yang ditertibkan menjadi obyek reforma agraria, dan lokasi konflik agraria mana yang diklaim telah diselesaikan.
Baca juga: Konflik Agraria dan Penembakan, Komnas HAM Temui Keluarga Korban di Bangkal Seruyan
"Klaim angka fantastis yang disebutkan pemerintah semakin keliru dengan tujuan reforma agraria itu sendiri. Sebab patokannya adalah jumlah bidang, bukan luas tanah dan jumlah subjek penerima redistribusi tanah," kata Dewi.