TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembangunan pertanian pangan di Indonesia selama periode 2013-2023, mendapat sorotan kritis dari akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB).
Pasalnya, pembangunan pertanian pangan yang diawali dengan berbagai program besar namun kemudian gagal.
Evaluasi kritis tersebut disampaikan oleh Guru Besar IPB Dwi Andreas Santosa, saat menjadi pembicara dalam Temu Ilmiah Guru Besar/Akademisi Se-Jabodetabek, di Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta, Kamis (14/3/2024).
Baca juga: Strategi Kampus Agar Lulusan Prodi Ilmu Pangan yang Mampu Bersaing secara Global
Acara tersebut mengangkat tema “Menegakkan Konstitusi, Memulihkan Peradaban Berbangsa dan Hak Kewarganegaraan”.
Menurut Andreas, program-program besar yang dijalankan dalam periode tersebut meliputi target swasembada padi, jagung, kedelai melalui program UPSUS Pajale, swasembada gula, swasembada bawang putih, rice estate Merauke, dan food estate.
“Semua program tersebut gagal. Produksi padi selama pemerintahan saat ini (2014-2023) justru menurun rata-rata sebesar 1,0 persen tiap tahun, yang menyebabkan stok beras awal 2023 sangat tipis sehingga Indonesia harus mengimpor beras sebanyak 3,06 juta ton. Jumlah ini menjadi jumlah impor beras terbesar selama 25 tahun terakhir,” tutur Andreas.
Rekor impor beras tersebut, menurut Andreas, akan terlampaui lagi pada tahun ini melalui keputusan impor oleh pemerintah sebesar 3,6 juta ton.
Dia memaparkan, bahwa selama 10 tahun terakhir neraca perdagangan pangan juga menjadi isu besar.
Ekspor komoditas pertanian membaik dari USD 30,67 miliar (2013) menjadi USD 44,27 miliar (2022), tetapi kemudian turun menjadi USD 36,27 miliar (2023). Hal ini disebabkan turunnya harga minyak sawit dunia.
Sementara itu, impor komoditas pangan justru meningkat secara signifikan.
Menurut Andreas, impor komoditas pangan melonjak dari USD 10,07 miliar (2013) menjadi USD 18,76 miliar (2023) yang menghasilkan defisit neraca perdagangan dari USD 8,90 miliar (2013) menjadi USD 16,28 miliar (2023) atau hampir dua kali lipat yang setara dengan Rp253 triliun.
“Saat ini ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan untuk gandum 100 persen, bawang putih 100 persen, kedelai 97 persen, gula 70 persen, dan daging sapi 50 persen,” imbuhnya.
Terkait keterbatasan pangan ini, Andreas juga menyoroti menurunnya Usaha Pertanian Perorangan (UTP), yang semula terdapat 31,71 juta unit, sekarang menjadi 29,34 juta unit atau menurun sebesar 7,47 persen. Hal ini disebabkan maraknya alih fungsi lahan.
Bertolak belakang dengan UPT, lanjut Andreas, jumlah rumah tangga petani pengguna lahan kurang dari 0,5 ha justru meningkat signifikan dari 14,12 juta rumah tangga menjadi 16,89 juta rumah tangga. Dengan persentase 55,3 persen (2013) menjadi 62,05 persen (2023).
“Di Pulau Jawa petani berlahan sempit berada di kisaran 81,36 persen (Jawa Barat) dan 89,64 persen (DI Yogyakarta),” jelasnya.
Selain itu, menurut Andreas, ketersediaan pangan dan produktivitas petani juga terkait dengan usia.
Saat ini, hasil sensus tani menunjukkan bahwa jumlah petani berumur lebih dari 45 tahun meningkat dari 61,86 persen (2013) menjadi 66,4 persen (2023).