TRIBUNNEWS.com - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Dwi Astuti, mengungkapkan risiko dampak perang Iran vs Israel terhadap indonesia.
Dalam wawancaranya bersama Sapa Indonesia Malam KompasTV, Selasa (16/4/2024), Esther mengatakan apabila eskalasi Iran vs Israel terus meningkat, maka suplai bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia akan terganggu.
Pasalnya, Iran sebagai salah satu pengekspor minyak, akan terhambat proses pengirimannya ke negara-negara yang mengimpor minyak dari Teheran.
Terganggunya suplai BBM, lanjut Esther, akan berdampak pada biaya logistik.
"Dampaknya akan relatif sangat besar ya bagi perekonomian Indonesia. Karena Iran itu adalah salah satu negara pengekspor minyak. Ketergantungan Indonesia untuk impor minyak itu relatif besar. Sekitar 3,5 juta barrel per bulan."
"Sehingga ketika eskalasi perang ini meningkat, maka yang akan terjadi, pertama adalah, suplai terganggu. Artinya, akan mengakibatkan biaya logistik meningkat. Karena ada uncertainty (ketidakpastian) ketika mereka akan mengekspor minyaknya ke negara-negara lain," jelas Esther.
Tak hanya dari sisi ketersediaan BBM, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika juga dianggap Esther akan semakin melemah.
Mengingat Indonesia sangat bergantung pada mata uang dolar Amerika dalam transaksi internasional.
"Kalau menurut saya, setelah harga minyak meningkat, maka yang terjadi adalah nilai tukar. Karena ketergantungan Indonesia terhadap USD sangat tinggi, apalagi impornya kita bayar dengan USD," lanjut dia.
Di kesempatan yang berbeda, Ekonom Senior di INDEF, Didik J Rachbini, menjelaskan tiga langkah yang bisa diambil pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi dampak ekonomi akibat konflik Iran vs Israel.
Langkah pertama, yaitu kerja sama antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk mengamankan daya beli masyarakat.
Baca juga: Ini Cara Iran Hadapi Serangan Israel yang Disebut Segera Tiba, Jet Tempur Sudah Siap 100 Persen
Didik menilai, penting bagi pemerintah dan BI untuk memonitor daya beli masyarakat di seluruh daerah.
"Mengamankan daya beli masyarakat, duet antara BI dan pemerintah. Di daerah-daerah harus dimonitor (daya beli masyarakatnya)," ungkap Didik saat hadir sebagai narasumber di acara Satu Meja KompasTV, Rabu (17/4/2024).
Yang kedua, lanjut Didik, adalah mengendalikan Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN).
Ia mengatakan APBN menjadi salah satu 'senjata' yang bisa dikendalikan secara langsung untuk mengantisipasi melemahnya ekonomi Indonesia.
"APBN, kita nggak boleh jor-joran," tegas dia.
Lalu, langkah yang ketiga adalah menjaga produktifitas usaha kecil dan menengah.
Apabila pemerintah bisa menerapkan tiga langkah itu, kata Didik, pertumbuhan ekonomi di tengah konflik masih bisa tercapai.
"Ketiga, menjaga produktifitas usaha-usaha menengah. Kalau itu bagus, (ekonomi) tumbuh 4-5 persen," kata Didik.
Saat disinggung langkah konkrit yang bisa diambil pemerintahan Indonesia yang baru nanti, Didik menyinggung negara-negara yang menjadi mitra ekonomi.
Hal ini untuk mengantisipasi ekonomi merosot dalam jangka pendek.
Baca juga: Siapa Saja Komandan atau Panglima Perang dari Israel dan Iran? Berikut Profil-profilnya
Didik menuturkan, Indonesia harus mau mendekat ke negara-negara yang tidak terlalu berdampak, terutama di kawasan Asia.
Menurutnya, apabila Indonesia masih bisa menjaga hubungan ekonomi dengan negara-negara ASEAN, Jepang, China, bahkan India, maka perdagangan di Indonesia tidak akan mati.
"Untuk jangka pendek, perang kan tidak langsung meluas ke global ya. Ada lima kutub ekonomi yang jadi mitra Indonesia, tapi tidak semuanya rusak (akibat perang). (Ada) Eropa, Amerika, Jepang, China, ASEAN."
"(Transaksi ekonomi yang) ke Eropa rusak, Amerika rusak, tapi ASEAN sendiri, Jepang, China, bahkan India itu masih potensial dan bisa menjadi mitra. Itu bisa menghidupkan mesin perdagangan Indonesia," jelas Didik.
Meski demikian, bagi Didik, yang terpenting bagi presiden terpilih nanti adalah mulai menjalin komunikasi dengan rakyatnya untuk menghindari syok apabila terjadi penurunan ekonomi.
"Yang terpenting untuk presiden terpilih yang baru, mulai sekarang harus komunikasi dengan publik. Krisis ini kan bukan hanya ekonomi, tapi juga psikologi."
"Dia (juga harus) menyampaikan ke publik, bahwa ke depan akan melakukan ini (langkah antisipasi)," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)