Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi berpendapat kebutuhan beras untuk program makan siang gratis sebanyak 6,7 juta ton per tahun.
Untuk diketahui, program tersebut dicanangkan oleh Presiden RI terpilih yakni Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka periode 2024-2029.
"Kalau saya tidak salah angkanya, tapi ini bukan hanya angka resmi, hanya membaca itu sekitar 6,7 juta ton kebutuhan per tahun. Itu angkanya besar," kata Bayu dalam acara Halal Bihalal di Kantor Perum Bulog, Kamis (25/4/2024).
Meski begitu, Bayu menyebut Perum Bulog hingga saat ini belum mendapat penugasan terkait program makan siang gratis tersebut.
Baca juga: Gibran Bicara Program Makan Siang Gratis saat Blusukan Perdana ke Rusunawa Muara Baru
"Yang jelas Bulog belum dapat tugas apapun terkait program makan siang gratis. Saya kira sewajarnya karena ini kan masih masa transisi, kita akan tunggu kebijakan pemerintah baru mengenai hal itu," ungkap Bayu.
"Apakah memang akan Bulog atau tidak kita belum tau, kita tunggu arahan dari pemerintahan yang baru," imbuhnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Next Policy, Grady Nagara, menyatakan terdapat kekeliruan yang mendasar dalam rencana kebijakan tersebut.
"Ada kekeliruan yang sangat mendasar dalam rencana kebijakan makan siang gratis Prabowo-Gibran. Secara teknokratis, rencana kebijakan tersebut masih sangat prematur karena minimnya riset dan keterlibatan para pakar," kata Grady dalam diskusi publik bertajuk “Salah Arah Kebijakan Makan Siang Gratis” yang diselenggarakan Next Policy di kawasan Cikini Jakarta Pusat Jumat (22/3/2024).
Grady menyoroti rencana kebijakan itu berpotensi pada impor pangan skala besar dan melemahkan ketahanan pangan Indonesia.
“Ketahanan pangan kita itu lemah. Bayangkan komposisi makan siang gratis bergantung pada komoditas seperti beras, daging, dan susu yang selama ini masih impor. Paling tidak untuk menyasar 82,9 juta penerima manfaat, per tahunnya butuh 6,7 juta ton beras, 1,2 juta ton daging ayam, 500 ribu ton daging sapi, sampai 4 juta kiloliter susu," ucap Grady.
“Ya itu, potensi impor besar-besaran bisa terjadi jika desain kebijakan tidak mempertimbangkan dimensi diversifikasi pangan. Di Brazil, misalnya, anggaran makan siang gratis di sana mewajibkan 30 persen mengambil pasokan dari petani lokal. Kita kan tidak terlihat akan seperti itu. Yang ada, potensi impor skala besar justru bisa mematikan para petani kita yang kebanyakan tidak memiliki lahannya sendiri," lanjut Grady.
Senada dengan itu, peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Shofie Azzahrah menyoroti beban fiskal yang sangat besar jika kebijakan ini dipaksakan melalui skema APBN.
“Anggaran makan siang gratis mencapai maksimal 450 triliun per tahun. Angka ini bahkan melampaui anggaran ketahanan pangan dan kesehatan yang nilainya hanya 114,3 dan 187,5 triliun rupiah," ujar Shofie.
“Dalam hitungan kami, program makan siang gratis akan menambah defisit anggaran sebesar 797 triliun. Angka defisit ini sendiri sudah ada di rasio defisit APBN terhadap GDP sebesar 3,81 persen. Tanpa skenario pembiayaan berkelanjutan, ini sangat berbahaya bagi kesehatan fiskal ke depan yang akan merugikan publik," imbuhnya.