Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama meminta pemerintah membuka opsi evaluasi dan revisi Undang-Undang No. 4 Tahun 2016 tentang Tapera.
Suryadi menyinggung poin-poin Konferensi pers yang diadakan Pemerintah di Kantor Staf Presiden di Jakarta, Jumat, (31/05/2024) sebagai respons dari penolakan masyarakat terhadap program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Pemerintah akan melanjutkan program ini dengan sosialisasi public hearing secara masif.
Selain itu, dijelaskan pula bahwa terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera tidak semata-mata langsung memotong gaji atau upah para pekerja non-ASN, TNI, Polri.
Baca juga: Demo Besar Tolak Tapera akan Digelar 60 Serikat Buruh di Istana
Sebab, mekanismenya akan diatur dalam peraturan yang dikeluarkan Menteri Ketenagakerjaan dan pemberlakuan kepesertaan adalah paling lambat tahun 2027.
Suryadi menerangkan, masalahnya bukan tentang sosialisasi, melainkan terlalu lamanya pengundangan UU No. 4 Tahun 2016 tentang Tapera atau delapan tahun menunggu baru dibuat PP pada tahun 2020 dan 2024 dan akan menunggu lagi peraturan menteri ketenagakerjaan, sebab situasi perekonomian masyarakat saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan saat UU Tapera ini dibahas.
“Padahal UU tentang Tapera pada tahun 2016 lalu mendapat dukungan dari berbagai organisasi buruh seperti Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI)," ujarnya, saat dikonfirmasi, Sabtu (1/6/2024).
Bahkan RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) DPR RI dengan Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBS) membahas UU ini pernah dilakukan pada 23 November 2015.
Saat ini, kata pria yang akrab disapa SJP ini, sudah terlalu banyak potongan gaji pekerja seperti BPJS Kesehatan yang memotong gaji 1 persen, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiun 1 persen, Jaminan Hari Tua 2 persen, belum lagi PPh 21 atau Pajak Penghasilan Pasal 21 yang memotong 5-35 persen sesuai penghasilan pekerja.
“Potongan gaji pekerja dengan label wajib di atas semakin menambah trauma para pekerja, dengan adanya kewajiban menjadi peserta Tapera seperti dinyatakan Pasal 7 UU No. 4 Tahun 2016,” tegas Suryadi.
Belum lagi, imbuhnya, ketidakpercayaan masyarakat karena adanya penyalahgunaan dana seperti pada kasus Jiwasraya dan Asabri. Sehebat apapun konsep skema pengelolaan dana yang dilakukan oleh Badan Pengelola (BP) Tapera, masyarakat masih sulit untuk diyakinkan.
Selain itu, belum adanya evaluasi terhadap pada pengelolaan dana Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum-PNS) yang merupakan cikal bakal Tapera yang berjalan sejak tahun 1993 sampai dilebur ke Tapera pada 2018 menambah rendahnya kepercayaan masyarakat.
"Belum jelas, apakah sampai sekarang masih ada kesulitan pencairan uang tabungan 200.000 PNS yang pensiun dan 317.000 PNS yang pernah menabung di Taperum-PNS yang dananya masih ada tetapi mereka tak dapat mengambilnya,” ungkap Suryadi
Oleh karena itu, tegasnya, FPKS meminta agar Pemerintah membuka opsi evaluasi Tapera yang sebenarnya sudah dilaksanakan sejak 2020 lalu bagi PNS, dan jika memungkinkan merevisi UU No. 4 Tahun 2016, terutama berkaitan dengan kewajiban setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum untuk menjadi Peserta Tapera.