TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Jumat (21/6/2024) merosot ke level Rp16.471 per dolar AS atau turun 41 poin atau 0,25 persen dibandingkan posisi sebelumnya Rp16.430 per dolar AS.
Kurs mata uang garuda ini tercatat yang terburuk sejak 23 Maret 2020 di mana rupiah kala itu di posisi Rp 16.575 per dolar AS.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan pelemahan rupiah ini dipengaruhi sentimen meningkatnya fiscal risk.
“Pasar terus memantau ketidakpastian arah kebijakan fiskal yang meningkatkan fiscal risk juga menjadi faktor yang memengaruhi pelemahan mata uang rupiah,” katanya dalam catatan harian Sabtu (22/6/2024).
Baca juga: Dukung Pedagang Kopi Keliling, Kapal Api Salurkan Bantuan Modal Kerja hingga 1 Miliar Rupiah
Hal itu dilihat dari kondisi proyeksi defisit anggaran yang besar di kisaran 2,8 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Angka tersebut mendekati batas atas level 3 persen dari PDB.
Terlebih belakangan ini bermunculan kabar mengenai sikap Presiden terpilih Prabowo Subianto yang terlihat permisif dengan utang dan bahkan diisukan hendak menaikkan rasio utang pemerintah ke kisaran 50 persen dari PDB, meski kemudian kabar itu sudah dibantah tim Prabowo-Gibran.
Oleh karena itu, pemerintah mendatang di bawah Prabowo-Gibran harus secepatnya menyampaikan komitmennya terhadap disiplin fiskal agar naiknya risiko fiskal dapat ditekan dan tidak menciptakan sentimen negatif terhadap rupiah.
Pemerintah dan Bank Indonesia selayaknya menjaga stabilitas rupiah berbasis kekuatan fundamental perekonomian Indonesia.
Hal itu yakni surplus neraca perdagangan, bukan intervensi valuta asing (valas) dengan cadangan devisa yang terbatas atau menaikkan suku bunga domestik.
“Sebenarnya rupiah tidak perlu mengalami pelemahan yang panjang jika pasokan dolar dari surplus neraca perdagangan mengalir ke pasar,” imbuhnya.
Pelemahan rupiah, kata Ibrahim, merupakan anomali karena hingga Mei 2024 Indonesia masih mencatatkan surplus neraca perdagangan yang cukup baik.
Dari faktor eksternal, penjualan ritel pada Mei 2024 yang dirilis minggu ini tidak terlalu signifikan dan tenaga kerja tampaknya melemah.
Jumlah orang Amerika yang mengajukan klaim baru untuk tunjangan pengangguran turun pada minggu lalu, namun masih lebih besar dari perkiraan.
Berdasarkan data yang dirilis pada hari Kamis (20/6/2024) menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja tetap kuat meskipun terjadi penurunan secara bertahap.
Data AS yang lemah baru-baru ini memperkuat spekulasi penurunan suku bunga Federal Reserve sebanyak dua kali pada akhir tahun ini.
Baca juga: Rupiah Makin Terpuruk, Pasar Pantau Arah Kebijakan Fiskal Pemerintahan Prabowo yang Belum Pasti
Sementara itu, para pejabat The Fed membiarkan kebijakannya tidak berubah pada pertemuan mereka di bulan Juni, dan memangkas proyeksi sebelumnya untuk pemotongan tiga perempat poin tahun ini menjadi satu, bahkan ketika inflasi telah mereda dan pasar tenaga kerja telah melemah.
Kemudian, pedagang tetap mewaspadai tanda-tanda intervensi berkelanjutan oleh Bank of Japan untuk meningkatkan mata uang yang mencapai posisi terendah dalam 34 tahun pada akhir April.