Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memberikan catatan terkait program makan bergizi gratis.
Hal itu disampaikan Peneliti LPEM FEB UI Revindo kepada Tribun Network, Rabu (26/6/2024).
“Yang terpenting, saya kira setiap kebijakan haruslah jelas tujuan utamanya, karena keberhasilan dari suatu kebijakan akan diukur berdasarkan tujuannya,” ujar Revindo.
Baca juga: Ekonom Sarankan Prabowo Jadikan Kemensos-Kemenkes Pelaksana Program Makan Bergizi Gratis
Dalam hal penciptaan dampak ekonomi, maka yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana pada tingkat pelaksanaannya makan gratis ini dikelola dan dari mana penggunakan input produksinya.
Jika pengadaan makan gratis didominasi oleh elit-elit pusat dan lokal, baik elit pemerintahan maupun elit ekonomi, maka program ini justru akan menimbulkan ketimpangan dan kecemburuan sosial, dan mengambil pangsa penjual kebutuhan pokok maupun warung makan setempat.
“Solusinya pengadaan makan gratis ini bisa dilakukan oleh BUMDes ataupun koperasi yang ada di desa-desa. Dari 83 ribu desa di Indonesia, tidak lebih dari 5 persen yang benar-benar memiliki BUMDes dengan kegiatan usaha yang berlanjut. Pengadaan makan gratis ini bisa menjadi kegiatan binis untuk BUMDEs yang nantinya akan dapat meningkatkan pendapatan asli desa (PADes),” ucapnya.
Program Makan Bergizi Gratis tidak tepat apabil tujuannya untuk mengatasi stunting sebab penanganan stunting dilakukan 1.000 hari pertama kehidupan, yang berarti sejak masa kehamilan.
Revindo menilai program ini tepat tujuannya untuk penambahan nutrisi, targetnya sebaiknya peningkatan pola pangan harapan, yang saat pada 2023 lalu nilainya 94,1, agar semakin mendekati 100 pada 2029.
Apabila target itu tercapai, pengeluaran pemerintah dapat dinilai efektivitasnya.
“Dalam konteks pemenuhan nutrisi ini, saya apresiasi perubahan konsep dari makan siang gratis menjadi makan gratis. Ini suatu perubahan yang bagus, karena fleksibilitas ini memungkinkan perbedaan pola pemberian makan antar daerah, tergantung kondisi atau kebiasaan makan daerahnya,” urai Revindo.
Baca juga: Istana Bantah Duit Pekerja yang Dipungut Tapera untuk Biayai Program Makan Siang Gratis
Misalnya, jika diidentifikasi di suatu daerah sangat banyak anak sekolah yang tidak sarapan (Khusun, et al., 2023), maka makan gratisnya bisa dalam bentuk sarapan sebelum memulai pelajaran atau saat istirahat pagi di sekolah.
Khusun et. al. (2023) dan Indriasari et al.(2021) menunjukkan bahwa angka anak yang melewatkan sarapan dapat bervariasi dari 17 persen sampai 59 persen antar daerah.
Akan tetapi untuk mencapai tujuan ini perlu dipastikan bahwa menu makan gratis yang diberikan juga mendukung pola pangan harapan, yaitu melengkapi keragaman pangan yang kurang misalnya untuk kelompok pangan hewani, kacang-kacangan, sayur dan buah.
Kemudian, produksi makannnya harus dipastikan menggunakan sabanyak-banyaknya bahan lokal (telur, kacang-kacangan buah dan sayur lokal) sehingga pengeluaran 71 triliun akan mampu menciptakan efek pengganda yang menggerakkan perekonomian lokal, karena uang tersebut menciptakan perputaran uang di daerah.
Jika kedua tujuan tereebut tercapai, maka negara akan hadir memperbaiki masalah nutrisi dan sekaligus menciptakan perputaran ekonomi sekaligus memperkuat kembali rasa solidaritas masyarakat di tiap daerah.