Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) terus mewaspadai serbuan produk impor ilegal yang masuk ke Indonesia yang dikhawatirkan semakin mengancam dan menggerus pasar produk UMKM.
Plt (Pelaksana Tugas) Deputi Bidang UKM KemenKopUKM Temmy Setya Permana mengatakan, beberapa kajian dan data berbagai sumber memperlihatkan serbuan barang impor ilegal terutama dari China memberikan dampak serius bagi Indonesia.
Baca juga: Mendag Zulkifli Hasan Ngaku Telah Pelajari Gerak-gerik Bandar Asing Jual Produk Impor Ilegal di RI
“Hal ini bisa menyebabkan deindustrialisasi di Indonesia. Bahkan gejalanya telah terlihat dari tahun 2015 hingga 2023,” kata Temmy dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (7/8/2024).
Pada 10 tahun lalu, sektor industri pengolahan masih mencatatkan andil terhadap PDB Indonesia di atas 20 persen per tahun. Namun, lima tahun kemudian, nilainya turun di bawah 20 persen. Tren ini baru dua kali terjadi dalam 10 tahun terakhir.
Temmy juga mengutip data Trademap yang diolah Tim KemenKopUKM, API, dan Apsyfi 2023, menunjukkan telah terjadi gap (kesenjangan) antara ekspor China ke Indonesia dengan impor Indonesia dari China.
Pada 2022 misalnya, ekspor China ke Indonesia mencapai Rp61,3 triliun sementara impor Indonesia dari China sebanyak Rp31,8 triliun.
"Ada gap sekitar Rp29,5 triliun atau sekitar 50 persen nilai impor produk China ke Indonesia tidak tercatat," katanya.
Angka itu menunjukkan data ekspor China ke Indonesia nilainya hampir tiga kali lipat lebih besar dari impor Indonesia dari China.
“Kami menduga ada produk yang masuk secara ilegal dan tidak tercatat. Ini khusus di pakaian atau tekstil dan produk tekstil (TPT). Barang masuk yang tidak tercatat tanpa bea masuk dan lain-lain, harganya akan murah sekali dan ini akan mendistorsi pasar,” katanya.
Temmy menyebut impor ilegal berpotensi menyebabkan kehilangan serapan 67 ribu tenaga kerja dengan total pendapatan karyawan Rp2 triliun per tahun, serta kehilangan potensi PDB multi sektor TPT sebesar Rp11,83 triliun per tahun.
“Hal ini tidak hanya berdampak pada PHK massal perusahaan tersebut saja, tetapi juga berdampak pada penurunan daya beli masyarakat yang kemudian mempengaruhi perekonomian nasional,” katanya.
Untuk itu, Temmy mengatakan, KemenKopUKM memberikan rekomendasi kebijakan yang bisa dilakukan bersama dengan K/L terkait.
Pertama, rekomendasi terkait rencana Pengenaan BMTP (Bea Masuk Tindakan Pengamanan) 200 persen dan Pertimbangan Teknis (Pertek) untuk produk tekstil memperhatikan pembatasan hanya untuk produk yang dikonsumsi akhir (pakaian jadi, aksesoris, alas kaki) atau pada kode HS 58-65.
“Sehingga bahan baku industri (filamen, kain, dan serat) masih dapat diimpor untuk memenuhi kebutuhan industri TPT dalam negeri,” ujarnya.
Kedua, rekomendasi KemenKopUKM mendukung langkah usulan Kemenko Perekonomian tentang insentif Restrukturisasi Mesin yang diberikan melalui perbankan dalam bentuk pembebasan bea impor terhadap mesin (PMK 11/2009 jo. PMK 188/2015).
“Ketiga, kami mendorong penyusunan regulasi terkait persaingan usaha tidak sehat dalam praktik perdagangan daring,” ucapnya.
Temmy menegaskan, di tengah serbuan impor ini, seluruh elemen masyarakat tidak bisa menutup mata dengan fakta bahwa UMKM Indonesia belum bisa bersaing dari sisi harga. Maka KemenKopUKM terus memantau dan berupaya agar produk UMKM bisa bersaing.