TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Universitas Brawijaya Prof Candra Fajri Ananda berharap pemerintah mempertimbangkan berbagai aspek dalam penerapan kebijakan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan (PP Kesehatan) yang di antaranya mengatur pengamanan zat adiktif.
Pasalnya, kebijakan ini tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan, tetapi juga ekonomi nasional.
Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pada 26 Juli 2024.
Sejumlah aturan dalam sistem kesehatan nasional berubah, mulai dari pengelolaan sumber daya manusia dokter dan tenaga kesehatan hingga pengamanan zat adiktif.
Namun, berkaitan dengan aturan pengamanan zat adiktif mendapat keluhan dari sejumlah pelaku industri terdampak, di antaranya industri hasil tembakau (IHT).
“Kebijakan IHT perlu dipertimbangkan berbagai aspek. Yang artinya, tidak hanya pertimbangan kesehatan, termasuk juga tenaga kerja, tembakau (pendapatan petani), penerimaan negara, dan industri. Kami berharap ada road map IHT ke depan yang lebih jelas dan diamini oleh seluruh stakehodlers,” ujar Prof Candra dalam keterangan tertulis, Jumat (30/8/2024).
Sebelumnya, pada Desember 2023, INDEF mempublikasikan rekomendasi kebijakan mengenai dampak RPP Kesehatan terhadap industri tembakau.
Dalam penelitian tersebut, INDEF memaparkan tiga skenario: pembatasan jumlah kemasan, pemajangan produk di etalase, dan pembatasan iklan tembakau.
“Jika ketiga skenario tersebut diterapkan secara bersamaan maka akan menyebabkan penurunan penerimaan perpajakan sebesar Rp52,8 triliun. Hal ini disebabkan karena berkurangnya penerimaan cukai dan jenis pajak lainnya sebagai imbas dari pengenaan pasal-pasal yang merugikan sektor IHT dan sektor yang terkait lainnya,” ujar peneliti INDEF, Tauhid Ahmad dalam laporan tersebut.
Baca juga: Indonesia-Korsel Tinggalkan Dolar AS, Sepakat Gunakan Mata Uang Lokal untuk Transaksi Dagang
Menariknya, dalam PP Kesehatan yang telah disahkan termuat pasal tentang pembatasan jumlah kemasan, pemajangan produk etalase, dan pembatasan iklan tembakau yang artinya kekhawatiran penurunan penerimaan negara berdasarkan penelitian INDEF berpotensi terjadi.
PP Kesehatan dan Tingkat Pengangguran
Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2024 menurun dari Triwulan I ke Triwulan II, dari 5,11 persen menjadi 5,05 persen. Jawa menjadi pulau yang paling berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini juga berarti bahwa kegiatan ekonomi sebagian besar terjadi di sana, termasuk Jawa Timur, provinsi dengan kontribusi terbesar dalam hal produksi tembakau.
Di sisi lain, PP Kesehatan berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap sektor-sektor yang sangat bergantung pada tenaga kerja, seperti IHT.
Pembatasan yang diatur dalam PP ini, seperti pengurangan jumlah kemasan, pembatasan iklan, dan pembatasan pemajangan produk tembakau, diproyeksikan akan menurunkan produksi dan mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani tembakau dan pelaku industri lainnya.
Pelemahan dan penurunan produksi ini bisa memicu pengurangan tenaga kerja, mengingat sektor tembakau adalah salah satu sektor yang padat karya.
Ketika industri mengalami penurunan, pengurangan tenaga kerja atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi salah satu konsekuensi yang hampir tak terelakkan. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa selama periode Januari-Juni 2024, jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 32.064 orang, meningkat 21,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Kemnaker menerima pengaduan PHK per April 2024, sebanyak 30.000 orang lebih,” ujar Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri, pada Mei lalu.
Baca juga: YLKI: Wacana Subsidi Tarif KRL Jabodetabek Berbasis NIK Kebijakan Ambigu
Selain itu, meningkatnya proporsi pekerja informal di Indonesia, yang saat ini mencapai 59,17% dari total pekerja, menunjukkan bahwa banyak pekerja yang beralih dari pekerjaan formal ke informal, sering kali karena kehilangan pekerjaan di sektor formal.
Jika tingkat pengangguran terus meningkat, terutama di sektor-sektor formal yang padat karya seperti IHT, maka kontribusi ekonomi dari masyarakat berusia produktif akan semakin menurun.
Ini bisa berdampak lebih jauh pada stabilitas ekonomi nasional, karena daya beli masyarakat berkurang, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.