Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) menduga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 17 tahun 2023, khususnya terkait Pengamanan Zat Adiktif, melanggar hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) warga negara, khususnya yang termasuk dalam ekosistem pertembakauan.
Direktur Eksekutif P3M KH Sarmidi Husna menyatakan keprihatinan yang mendalam atas pengesahan PP 28/2024.
Baca juga: Pakar Hukum UI: PP 28/2024 dan RPMK Abaikan Partisipasi Publik
"P3M bersama aliansi organisasi menolak pengesahan PP tersebut khususnya terkait Pengamanan Zat Adiktif karena ruang lingkup klausul di dalamnya masih banyak mengandung kontroversi," kata KH Sarmidi Husna dalam keterangan tertulis, Selasa (1/10/2024).
Menurut Sarmidi, Kementerian Kesehatan telah gagal menyajikan keseimbangan dan keadilan perspektif antara kesehatan publik dan penguatan ekonomi.
Selain itu, dalam implementasi dan pengawasannya, PP 28/2024 dinilai sangat berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Berdasarkan kajian mereka, P3M memberikan beberapa catatan atas PP 28/2024.
Pertama, proses penyusunan PP 28/2024 hanya melibatkan pihak-pihak yang pro menteri kesehatan dan sama sekali tidak melibatkan pemangku kepentingan lainnya (nir-partisipatif).
Kedua, banyak pasal dalam PP 28/2024 yang bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu.
Setidaknya ada tujuh putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan tembakau adalah produk legal, bukan illegal atau terlarang.
Baca juga: Kemenkumham Pastikan Pemerintah Terima Masukan Soal RPMK Turunan PP 28/2024
Ketiga, pendekatan regulasi dalam PP 28/2024 dipandang sangat bersifat restriktif dan tidak proporsional.
"Hal ini mirip dengan regulasi minuman keras atau minuman beralkohol," ujar KH Sarmidi Husna.
Terbitnya PP 28/2024 diproyeksikan bakal sangat merugikan dan dalam jangka panjang bisa mematikan kelangsungan hidup ekosistem pertembakauan di Indonesia.
"Kami menyadari pentingnya kesehatan masyarakat, namun setiap regulasi harus mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial secara menyeluruh," ucap KH Sarmidi Husna.
Maka dari itu, ia mengusulkan pendekatan yang lebih seimbang dan berbasis bukti (evidence-based) dalam tuntutan menolak dan merevisi PP 28 tahun 2024.