TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta serius menyelesaikan persoalan kendaraan Over Dimension Overload (ODOL) di jalan raya, mengingat hingga saat ini belum juga ditemukan solusinya.
Banyak kasus kecelakaan di jalan raya dan jalan tol dipicu oleh kendaraan ODOL ini dan memakan korban luka dan meninggal.
Ada beberapa persoalan mendasar yang menjadi perhatian pemerintah sebelum menerapkan Zero ODOL. Apabila itu tidak dibenahi, maka persoalan ODOL diperkirakan akan terus terjadi.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono, mengatakan salah satu problem yang harus diselesaikan pemerintah adalah masalah status dan fungsi jalan yang masih karut-marut dan tidak jelas.
Sementara, ketika mengangkut barang dari pabrik ke tempat tujuannya, truk-truk tersebut akan melewati jalan yang statusnya beda, mulai jalan desa, kabupaten, kota, provinsi, dan arteri (nasional).
“Hal tersebut merupakan problem klasik yang masih belum diselesaikan hingga saat ini,” kata Agus dikutip Jumat (22/11/2024).
Saat melalui jalan yang berbeda-beda itu, menurutnya, truk-truk itu tidak mungkin akan menurunkan barang-barang bawaannya saat akan pindah jalan.
Apalagi, saat membongkar muatannya itu, dibutuhkan yang namanya terminal handling sebagai tempat untuk mengumpulkan barang-barang yang kelebihan muat.
“Masalahnya, terminal handling ini tidak pernah ada karena memang tidak diwajibkan dalam undang-undang,” tukas Agus.
Fakta-fakta tersebut yang menurut Agus akhirnya membuat jalan-jalan itu, khususnya jalan yang ada di kabupaten banyak yang rusak karena harus dilalui truk-truk besar.
“Jadi, karut-marut antara kelas, fungsi dan status jalan inilah sebetulnya yang menjadi penyebab hancur-hancuran jalan itu. Artinya, penerapan kelas jalan itu tidak sesuai dengan penerapan status jalannya,” tutur Agus.
Agus mengatakan carut-marutnya kelas, fungsi, dan status jalan itu tersebut terjadi lantaran tidak adanya keselarasan antara UU Jalan dengan UU Lalu Lintas tidak pernah sinkron.
“Kelas jalan, dikaitkan dengan fungsi jalan, dikaitkan status jalan, tidak pernah ketemu. Jadi, masalah ODOL ini tidak akan pernah bisa diselesaikan. Mau diselesaikan pakai apa?” ucapnya.
Untuk bisa menjalankan kebijakan Zero ODOL, juga diperlukan pembenahan terhadap sumber daya manusia (SDM) dan perangkat peralatannya di jembatan timbang.
Jika itu belum dilakukan maka akan sulit bagi Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk menerapkan kebijakan tersebut.
Anggota Dewan Pakar Gerindra sekaligus praktisi transportasi dan logistik, Bambang Haryo Soekartono, mengatakan, jumlah SDM di jembatan timbang itu sangat kurang dan peralatannya juga banyak yang sudah rusak.
Baca juga: Sering Kecelakaan Truk ODOL di Jalan Raya, Mengapa Jalur KA Tak Dioptimalkan?
Selain itu, dari total 141 jembatan timbang di seluruh Indonesia, sampai dengan sekarang ini hanya 25 jembatan timbang yang dibuka. Dan itupun tidak beroperasi 24 jam, tapi hanya 8 jam saja.
“Ini kan sama saja dengan bohong jika mau secara serius menerapkan Zero ODOL,” ujar Haryo yang juga menjadi Anggota Komisi VII DPR RI ini.
Dengan kondisi seperti itu, menurut Haryo, itu menunjukkan bahwa Kemenhub tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup.
“Kalau tidak memiliki personil yang cukup, tidak mungkin Zero ODOL bisa dilaksanakan. SDM -nya aja nggak ada kok,” ucapnya.
Baca juga: Aturan Truk ODOL Belum Kunjung Berlaku, Menperin: Industri Minta Fleksibilitas
Jadi, katanya, jembatan timbang itu harus dibenahi terlebih dulu, terutama sumber daya manusia dan perangkat peralatannya. “Kalau belum, ya memang sulit kalau mau menerapkan Zero ODOL ini,” tandasnya.
Selain jembatan timbang, menurut Haryo, yang perlu dibenahi lainnya adalah daya dukung jalan.
Dia mengungkapkan daya dukung jalan atau muatan sumbu terberat (MST) kelas 1 di Indonesia hanya 10 ton.
Sementara, di negara lain seperti China sudah mencapai 100 ton, Jepang dan Eropa 75 ton.
“Artinya, jalan-jalan yang ada sekarang harus dibongkar semua. Konstruksinya harus kuat,” tukasnya.