Laporan Wartawan Tribunnews, Larrasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI) membeberkan syarat kehalalan obat, termasuk vaksin untuk pengobatan berkaitan dengan distribusi vaksin covid-19 yang akan didistribusikan pemerintah dalam waktu dekat.
Direktur Eksekutif LPPOM MUI, Muti Arintawati mengatakan syarat tersebut sudah dikeluarkan MUI melalui Fatwa MUI nomor 30 tahun 2013 tentang obat dan pengobatan.
“MUI punya fatwa nomor 30 tahun 2013 tentang obat dan pengobatan,” kata Muti pada webinar Alinea id soal kehalalan dan keamanan vaksin covid-19, Selasa (5/1/2020).
Baca juga: Ratusan Personel Polda Kalsel Termasuk Brimob Amankan Kedatangan Vaksin Covid-19 Tahap I
Muti menjelaskan bahwa obat yang digunakan untuk kepentingan pengobatan wajib menggunakan bahan yang suci dan halal.
Namun, ia mengatakan ada pengecualian dimana penggunaan bahan najis atau haram dalam obat-obatan diperbolehkan asal memenuhi sejumlah syarat.
Baca juga: DPR Kembali Berduka, Kasubag Rapat MKD Meninggal Dunia Karena Covid-19
Salah satunya pada kondisi darurat yang apabila pengobatan itu tidak dilakukan dapat mengancam jiwa manusia atau mengancam eksistensi jiwa manusia di kemudian hari.
Penggunaan bahan najis atau haram juga diperbolehkan apabila belum ditemukan bahan yang halal dan suci, serta adanya rekomendasi paramedis yang kompeten dan terpercaya bahwa dalam pengobatan tidak ditemukan obat yang halal.
“Ada kondisi tertentu yang bisa membuat suatu produk obat itu diperbolehkan. Tetap dinyatakan haram, tapi produknya diperbolehkan digunakan dalam kondisi tertentu,” kata Muti.
Baca juga: DPR Kembali Berduka, Kasubag Rapat MKD Meninggal Dunia Karena Covid-19
“Jadi ini penting sekali kenapa MUI harus bersama-sama dengan Badan POM, karena Badan POM yang punya otoritas untuk memberikan rekomendasi, termasuk soal vaksin tadi,” lanjutnya
Adapun penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan luar hukumnya boleh dengan syarat dilakukan pensucian.
Muti mencontohkan dalam kasus vaksin MR pada proses pengkajiannya terdapat kandungan babi didalamnya.
Pada saat itu MUI menyatakan vaksin MR haram dalam hal produknya, namun karena adanya kebutuhan meskipun haram, MUI memperbolehkan vaksin itu dipergunakan.
“Karena belum ada alternative vaksin lain yang halal maka diperbolehkan untuk digunakan,” kata Muti
Sekiranya ada 2 hal yang akan dikritisi LP POM MUI soal kajian kehalalan vaksin yang disebut titik kritis vaksin, yakni terkait seluruh bahan yang terlibat dalam proses produksi dan juga soal fasilitas produksinya.
Muti menegaskan, dalam mengkaji vaksin Sinovac pihaknya tak bersikap pasif dengan hanya menunggu informasi dari pihak perusahaan.
LPPOM MUI akan intensif melakukan sejumlah kajian ilmiah terhadap bahan-bahan yang dikandung vaksin tersebut, dengan melibatkan sejumlah pakar maupun lewat literature.
Meski nantinya hasil keputusan Komisi Fatwa MUI menyatakan bahwa vaksin Sinovac haram namun vaksin tersebut kemungkinan masih tetap bisa digunakan berdasarkan Fatwa MUI nomor 30 tahun 2013.
"Jika nanti hasilnya haram, maka sama seperti pada vaksin MR. Dimana pada vaksin MR yang digunakan untuk program imunisasi massal mengandung babi, namun penggunaannya masih dibolehkan sampai ditemukan vaksin lain yang halal, karena ada kondisi bahaya," kata Muti