TRIBUNNEWS.COM - Salah satu ancaman serius bagi bangsa Indonesia adalah praktik kekerasan terutama seksual kepada anak yang dilakukan oleh orang dewasa. Ancaman ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah, salah satunya dengan menetapkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa, setara dengan terorisme, korupsi, dan narkoba sehingga penanganannya juga harus luar biasa.
Oleh karena itu, penanganan dan tindakan hukum atas segala bentuk kekerasan terhadap anak oleh lembaga dan aparat penegak hukum dituntut untuk cepat, responsif, proporsional, dan mengedepankan hak-hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Anggota DPD RI Fahira Idris mengingatkan kepada semua pihak, baik aparat dan lembaga penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, kehakiman) maupun masyarakat luas bahwa saat ini Indonesia sudah mempunyai perangkat aturan yang sangat tegas terhadap kekerasan seksual terhadap anak. Oleh karena itu, siapa saja di negeri ini harus sudah memandang bahwa setiap kekerasan seksual terhadap anak setara dengan kejahatan terorisme, korupsi, dan narkoba yang harus kita berantas dan ‘perangi’ bersama.
“Saya ingin mengingatkan kembali kepada kita semua, baik kepada aparat dan lembaga penegak hukum maupun masyarakat bahwa UU Perlindungan Anak sudah menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa setara dengan terorisme, korupsi, dan narkoba. Oleh karena itu, penanganan dan tindakan hukum atas segala bentuk kekerasan terhadap anak juga harus luar bisa dan harus mengedepankan hak-hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Pesan ini saya sampaikan karena belakangan ini terjadi beberapa kasus kekerasan seksual terhadap anak salah satunya dugaan pemerkosaan terhadap remaja putri di Bekasi yang saat ini pelakunya sudah menjadi tersangka dan masuk dalam daftar pencarian orang,” ujar Fahira Idris di Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Kamis (20/5).
Menurut Fahira, sejak diterbitkannya UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sudah banyak pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang mendapat hukuman di atas 10 tahun bahkan diantaranya mendapat hukuman tambahan kebiri kimia karena dinilai menjadi predator seksual anak.
Amunisi untuk ‘perang’ terhadap predator seksual anak semakin lengkap saat Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Bagi Fahira, PP ini adalah salah satu bentuk penegasan dari komitmen bangsa ini yang telah menetapkan kekerasan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa. Tinggal bagaimana komitmen Pemerintah untuk 'memerangi' kekerasan seksual terhadap anak dan para predator seksual anak ini dikawal bersama lewat penegakkan hukum yang penanganannya juga luar bisa dan yang juga terpenting, menempatkan korban sebagai subyek salah satunya dengan mekanisme pemulihan yang jelas bagi korban dan keluarganya dan mengutamakan hak-hak korban.
“Lewat penegakkan hukum yang luar biasa terhadap setiap kasus kekerasan seksual terhadap anak dan dalam prosesnya mengedepankan hak-hak anak yang menjadi korban, artinya kita mengirim pesan kepada siapa saja bahwa tidak ada tempat di negeri bagi siapapun yang berani melakukan kekerasan seksual terhadap anak,” pungkasnya.(*)