TRIBUNNEWS.COM - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menilai ambang batas pencalonan presiden, atau presidential threshold, turut menjadi penyebab maraknya konflik horisontal di masyarakat akibat polarisasi yang tajam dalam masyarakat.
Penilaian itu disampaikan LaNyalla saat menjadi Keynote Speech Pesantren Virtual Bhineka Tunggal Ika Untuk Persaudaraan dan Perdamaian yang diselenggarakan Poros Sahabat Nusantara (POSNU), Minggu (31/10/2021).
“Di sinilah akar masalah terjadinya konflik-konflik itu. Aturan ambang batas membuat pasangan calon yang dihasilkan terbatas. Dari dua kali Pemilihan Presiden, hanya menghasilkan dua pasang calon, yang head to head. Sehingga dampaknya terjadi polarisasi masyarakat yang cukup tajam,” ujarnya.
LaNyalla menambahkan, hal itu semakin diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan Anti-Thesa atas output pesan yang dihasilkan. Baik dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan.
Puncaknya, lanjut LaNyalla, anak bangsa secara tidak sadar membenturkan Vis-à-vis Pancasila dengan Islam. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa untuk menjelaskan identitas dan posisi.
“Padahal tidak ada satu tesis pun yang membuktikan Pancasila dan Islam bertentangan, tapi karena semangat saling Anti-Thesa muncul idiom saya Pancasila dan saya Islam, seolah berbeda, ini sangat merugikan kita sebagai bangsa,” tandasnya.
Sehingga akhirnya muncul istilah kampret, cebong, kadrun dan lain sebagainya. Sesama anak bangsa saling melakukan persekusi bahkan lapor-melapor ke ranah hukum.
Lebih parah lagi ketika ruang-ruang dialog dibatasi, kemudian ada sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran pengajian dan lain sebagainya.
“Sungguh sangat tidak sehat untuk sebuah proses perjalanan politik sebuah bangsa. Tidak heran, jika sejumlah lembaga internasional menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran,” kata LaNyalla yang berbicara secara virtual di acara bertema 'Pemuda Memahami Kebutuhan Negara Dalam Konteks Amandemen Konstitusi' itu.
Menurut LaNyalla, untuk menjawab persoalan itu tidak cukup dengan mengedepankan kegiatan atau narasi bertema Kebhinekaan secara massif di Indonesia. Namun, berbagai pembelahan di masyarakat itu harus dituntaskan dari akar masalahnya alias persoalan di hulu.
“Kegiatan yang bertema Kebhinekaan menurut saya sangat penting diadakan. Sebagai sebuah perekat kesadaran berbangsa, sekaligus untuk memperkuat pemahaman hubungan sesama warga bangsa yang berbeda-beda, suku, agama, ras dan golongan. Namun itu belum akar persoalan. Yang diperlukan sekarang adalah mengubah hulu-nya itu sehingga semua akan tuntas,” tegas Ketua Pemuda Pancasila Jawa Timur itu.
Selain terjadinya konflik karena polarisasi akibat hanya dua pasang calon, ada beberapa dampak negatif lainnya dari adanya Presidential Threshold. Antara lain Presidential Threshold mengerdilkan potensi bangsa. Karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin kompeten.
Tetapi, kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya.
“Semakin sedikit kandidat yang bertarung, akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin yang terbaik,” jelas Senator asal Jawa Timur itu.
Kemudian Presidential Threshold berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Di mana peluang pemilih untuk tidak memilih alias golput menjadi tinggi karena calon terbaik menurut mereka tidak mendapat tiket untuk maju.
Terakhir, mudharatnya ambang batas pencalonan adalah partai politik kecil tak berdaya di hadapan partai politik besar. Ini terkait keputusan tentang calon yang akan diusung bersama.
“Dengan aturan ambang batas itu, peluang kader partai politik kecil untuk tampil menjadi tertutup. Karena hanya partai politik besar atau gabungan partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres,” tutur LaNyalla.(*)