TRIBUNNEWS.COM - Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma SH., M.Hum., meminta kepada pemerintah pusat hingga pemerintah daerah di Provinsi Papua dan Papua Barat untuk segera melakukan langkah-langkah cepat dalam rangka memastikan bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) dan peraturan pelaksanaannya terimplementasi dengan baik.
Filep Wamafma berpendapat UU Otsus harus dapat dilaksanakan dan berjalan efektif pada tahun 2022 mendatang. Menurutnya, pasca UU Otsus maupun Peraturan Pemerintah disahkan maka diharapkan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai penanggung jawab utama penyelenggaraan pemerintahan dan kebijakan harus memastikan UU Otsus berjalan sesuai peruntukannya dan tepat sasaran menjawab kebutuhan masyarakat terutama Orang Asli Papua (OAP).
“Pasca disahkan, tentu menjadi harapan baru bahwa kehadiran undang-undang ini memberikan jaminan baik dalam tata kelola pemerintahan maupun kebijakan afirmasi-afirmasi kepada orang asli Papua, juga masyarakat adat di Papua sebagai salah satu subjek paling utama dalam konteks Otonomi Khusus,” ujar Filep, Jumat (12/11/2021).
“Bagi saya sebagai Senator dari Papua Barat dan juga sebagai tim penyusun RUU maupun pengesahan dan juga RPP hingga Peraturan Pemerintah meminta agar pemerintah pusat segera melakukan upaya dan langkah-langkah konkrit agar kebijakan otonomi khusus tepat sasaran dan dilaksanakan di tahun 2022,” katanya.
Lebih lanjut, Wakil Ketua I Komite I DPD RI ini menyampaikan, setidaknya terdapat 3 hal substansial yang seyogianya segera dilaksanakan oleh pemerintah. Yang pertama, kaitan dengan perencanaan anggaran berbasis otonomi khusus. Menurutnya, dalam hal ini adalah kementerian keuangan, pemerintah daerah dan jajarannya sudah harus melakukan melaksanakan suatu skema baru terkait dengan pengalokasian anggaran dana otonomi khusus baik di provinsi maupun di kabupaten/kota.
Ia menjelaskan, dengan perencanaan anggaran Otsus untuk pendidikan yang rinci diharapkan mulai tahun ajaran baru di tahun 2022 tidak ada lagi orang asli Papua yang menempuh pendidikan tetapi dibebankan biaya.
“Hal yang mendasar pertama adalah terkait alokasi dana Otonomi Khusus untuk sektor pendidikan bahwa sesuai dengan amanat Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah bahwa pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memberikan jaminan terkait penyelenggaraan pendidikan setingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak hingga di tingkat perguruan tinggi. Artinya bahwa ada skema anggaran yang harus dibahas bersama-sama antara pemerintah provinsi berdasarkan kewenangan pengelolaannya dengan pemerintahan kabupaten/kota,” jelasnya.
Kemudian, yang kedua berkaitan dengan jaminan kesehatan. Menurut Filep, dalam bidang kesehatan juga dibutuhkan skema yang mampu menerjemahkan amanat UU maupun dalam peraturan pemerintahnya yang dengan tegas memberikan kepastian bahwa pemerintah menjamin kesehatan orang asli Papua dengan memberikan dukungan dan membebaskan dari segala macam biaya kesehatan.
“Perencanaan anggaran Otsus sudah seharusnya dipahami oleh SKPD-SKPD terkait termasuk kebijakan tata kelola dana kesehatan bagi orang asli Papua harus dirumuskan dengan baik. Bagaimana langkah dan cara yang tepat sehingga alokasi dana kesehatan tidak lagi seperti 20 tahun lalu yang seolah belum nampak hasilnya,” ujarnya.
Yang ketiga adalah berkaitan dengan pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) migas untuk Papua Barat yakni bagi 7 suku di teluk Bintuni. Menurut Senator Filep, masyarakat adat 7 suku di teluk Bintuni adalah pihak yang memperoleh hak berdasarkan amanat undang-undang dan amanat Peraturan Pemerintah bahwa 10 persen dari hasil migas diperuntukkan bagi masyarakat adat. Ia menegaskan bahwa pemerintah seyogyanya dapat bergerak cepat melaksanakan amanat UU. Sehingga tidak selalu reaktif hingga masyarakat yang bergerak menuntut haknya dipenuhi.
“Untuk Migas ini hanya berada di Provinsi Papua Barat dan ada di Kabupaten teluk Bintuni maka tentu pemerintah daerah dan pemerintah provinsi termasuk SKPD terkait sudah harus bergerak cepat. Akhir-akhir ini kita melihat masyarakat 7 suku di Bintuni itu gencar menuntut haknya. seharusnya dengan adanya dasar hukum Undang-Undang Otsus dan peraturan pemerintah, rakyat tidak perlu menuntut haknya karena pemerintah sudah punya kewajiban untuk menyediakan hak-hak warga negara Indonesia atau hak-hak masyarakat adat 7 suku di Bintuni,” tegasnya.
Oleh sebab itu, Filep meminta segera disiapkan perangkat-perangkat yang dibutuhkan sehingga pada tahun 2022 hak-hak masyarakat ada 7 Suku segera terpenuhi. Filep jiga menjelaskan, bahwa DBH Migas 7 Suku Bintuni tersebut berbeda dengan hak ulayat masyarakat adat. Peruntukan DBH Migas telah diatur dengan undang-undang sementara hak ulayat atau hak milik menjadi bagian dari kearifan lokal dan juga hukum adat yang harus dihargai dan dihormati oleh pemerintah maupun investor.
Yang Keempat, berkaitan dengan pembentukan kursi pengangkatan di kabupaten dan kota. Menurutnya, mengingat pembentukan kursi pengangkatan masih sangat lama, maka hal ini juga harus dipercepat perangkatnya. Pemerintah harus mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan sesuai dengan mekanisme yang sudah diatur dalam peraturan pemerintah.
“Menurut saya bahwa waktunya struktur pemerintahan di daerah itu adalah pemerintah provinsi yakni Gubernur beserta dengan DPR provinsi dan MRP perlu bersinergi dengan semua pihak termasuk bupati, wakil bupati dan DPRD kabupaten/kota terkait pembangunan di daerah dalam konteks otonomi khusus,” tambahnya.
Ia kembali menekankan, pemerintah diharapkan dapat memahami dengan baik makna rumusan dan kebijakan Otsus, peruntukannya hingga mekanisme implementasinya termasuk semua kepala daerah hingga jajaran paling bawah.
“Sehingga perlu ada musyawarah khusus atau musrembang Otsus yang mengakomodasi kebijakan-kebijakan yang ditentukan dalam peraturan pemerintah dan dalam undang-undang otsus kaitan termasuk pendistribusian anggaran khusus kepada sektor-sektor yang telah diatur dan ditentukan.
Filep mengatakan, UU ini sangat diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan saat ini yang dihadapi oleh orang asli Papua baik dalam sektor pendidikan kesehatan dan juga dengan sektor-sektor lainnya. Terlebih pada tahun 2022 sejumlah kepala daerah di Papua dan Papua Barat juga akan selesai masa jabatan dan kemudian akan hadir karateker.
Menurutnya, transisi pemerintahan ini akan sangat mengganggu perencanaan kebijakan dalam konteks otonomi khusus. Oleh sebab itu, ia berharap para kepala daerah saat ini harus sudah menyelesaikan perencanaan dengan baik sehingga implementasinya dapat dilaksanakan pelaksana tugas di tahun 2022.
“Sebelum kepala daerah Gubernur maupun Bupati meninggalkan jabatannya di tahun 2022 maka seyogyanya dirumuskan kebijakan Otsus sebagai landasan pelaksanaan tugas karateker gubernur atau bupati dalam rangka mempersiapkan pemerintahan kebijakan Otsus ke depan. Saya berharap pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan serta kementerian terkait perlu melakukan langkah-langkah cepat yang taktis guna mendukung implementasi Otonomi Khusus di tanah Papua,” pungkasnya. (*)